Aku memppunyai sahabat yang sering di panggil dita. Dia adalah sahabat terbaik ku walau sering berdebat. Di suatu waktu aku menyukai seorang cowok yang bernama rian. Dia adalah siswa yang terpintar dan sekelas dengan kami berdua, aku bilang pada dita kalau aku menyukai rian. hari demi hari aku sering memperhatikannya tapi ada perasaan yang menganjal di pikiranku saat aku bilang ke dita bahwa “Aku menyukai rian” aku lihat raut wajah yang tidak setuju itu.
Keesokan hari nya aku dan dita pergi ke sebuah tokoh buku dan sesampainya di sana aku dan dita bertemu dengan rian, betapa senang nya itu tapi sepertinya dita menyukai nya juga dan sesampai di rumah dita main ke rumah ku aku penasaran dengan perasaan dia ke rian lalu aku bertanya “dit jujur ya sama aku kamu suka ya sama rian?” tanya ku.
“en…gak, enggak kok” jawab dita
“kamu bohong dit sama aku pasti kamu menyukai nya” tanya ku lagi
“sebenarnya sebelum kamu menyukai dia aku sudah lebih dulu menyukai nya tapi setelah aku mendengar kamu berkata *Aku menyukai rian dit* aku mulai sadar rin kalau perasaan aku ke rian itu hanya lah mimpi dit” aku berpikir setelah percakapan kami tadi mengapa orang yang aku sukai sahabat ku juga menyukainya berat nya itu, menerima perkataan itu semua.
Hari pun terus berjalan akibat perbincangan itu persahabatan kami mulai renggang. Jam 09:30 waktu nya kami istirahat rian pun menhampiriku ternyata dia menanyakan dita “rin dita mana ngak sama kamu ya?” tanya nya
“ngak emang kenapa yan?” jawab ku.
“tolong ya rin sampaikan ke dita aku mau ketemuan di danau” jawabnya lagi
“iya yan” jawabku
Setelah jam istirahat aku berpikir Tuhan betapa sakit nya dengar perkataan orang yang aku cintai itu.
Setelah kami berbicara lalu aku menemui dita bahwa rian ingin kamu pergi ke danau, akhirnya aku pergi ke kelas, aku hanya bilang itu saja.
Bel pulang sekolah pun berbunyi dita bersiap-siap untuk pergi ke danau, aku pun berniat untuk mengikuti nya sesampai dia di sana rian telah menunggu nya lalu rian bilang bahwa dia menyukai dita rasa nya hatiku hancur saat mendengar itu semua, orang yang aku sukai malah menyukai sahabatku sendiri, air mata yang keluar dari mataku tak henti mengalir, aku yang melihat dari kejahuan. Dita menjawab iya untuk perasaanya rian dan mereka resmi jadian di depan mata ku sendiri. Aku tak percaya akan kata-kata yang aku dengar barusan, aku langsung pulang saat mendengar itu tangisanku tak henti, bagaimana sahabatku dapat menerima orang yang aku cintai.
Hubungan mereka sudah berjalan satu minggu aku masih belum dapat move on dari rian, sakit hatiku masih membekas dengan sahabat baik ku, dan hubungan ku dan dita tidak seperti dulu kami sudah tidak pernah berbicara lagi semenjak dita pacaran dengan rian.
Tuhan kapan aku dapat menerima semua kejadian yang tak pernah aku ingginkan dan hati yang sakit karena rian dan dita, semoga aku dapat melupakan sakit hati ku dan dapat menerima semua nya. Aku tau satu kata atau pun perhatian rian sedikit itu sangat berarti bagiku yang tak pernah mendapatkanya. Kenapa cinta tidak pernah memihakku. Aku sudah sedikit melupakan dia, tapi kenapa kalian mengigatkan ku ke dia. Aku ingin seperti bintang yang selalu indah untuk orang-orang yang disayangi nya. Kapan aku bisa seperti bintang saat orang yang aku sayangi menyayangiku. mungkin ini saat nya aku untuk pasrah atas semua ini. ingin sekali hidup seperti angin yang berhembus di malam hari begitu bersih dan pasrah nya membawa semua perasaan mereka. Air mata ku terus mengalir jika ingat tentang mereka yang begitu sakit nya. Aku ingin seperti air yang selalu mengalir tanpa harus memikirkan masalah mereka. kenapa perasaan yang dulu hilang sekarang datang lagi walau kami tidak sekelas.

Cerpen Karangan: Yuniarti
Kampus adalah tempat belajar, bermain dan rumah kedua bagi Dimas. Dia sudah lama kuliah di Cirebon dan Ia mempunyai banyak teman di sana, termasuk Tiara. Tiara mungkin teman sepesial bagi Dimas karena Ia merasakan sesuatu yang lebih jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.
Dimas adalah seorang laki-laki yang kini berumur 20 tahun, Ia kini duduk di semester 5. Ia kenal dengan Tiara dikenalkan oleh temannya saat Ia duduk di semester 2. Namun, sosok wanita yang Ia inginkan tak pernah memperdulikannya yang membuat Dimas semakin jauh dengan Tiara.
Dimas berangkat kuliah setiap hari selasa sampai hari sabtu dan Tiara pun mempunyai jadwal yang sama namun waktu jam kuliah yang berbeda yang membuat Ia dan Tiara jarang bertemu. Kini Ia sudah 6 bulan tak bertemu dengan Tiara, rasa rindu memang ada namun Ia sadar Ia bukan siapa-siapanya Tiara.
Ketika Ia masuk ke kampus, saat Ia berjalan memasuki kelas Ia bertemu dengan sosok wanita yang dulu Ia cintai, yaitu Tiara. Ketika itu Tiara sedang duduk sendiri di depan kelas, Dimas pun yang sudah lama tidak bertemu dengan Tiara langsung memberhentikan langkah kakinya dan Ia pun berbincang-bincang dengan Tiara sekedar menanyakan kabarnya.
“Hey… apa kabar?. Kemana saja sudah lama tidak bertemu”. Tanya Dimas sambil berjabat tangan. Tiara pun menjawabnya dengan senyuman yang masih sama seperti dulu saat pertama kenal dengan Dimas.
“Ga kemana-mana, kamu aja yang sibuk terus sampai-sampai lupa sama aku”.
Waktu yang terus berjalan terasa berhenti, dan Dimas masih ngobrol dengan Tiara hingga Ia teringat dengan kisah yang dulu pernah ada antara Dimas dan Tiara.
Ia teringat ketika pertama Ia kenal dengan Tiara. Ketika itu, Ia hendak pulang dan bertemu dengan temannya yang sedang ngobrol dengan Tiara disanalah Ia dikenalkan oleh temannya dengan Tiara, hingga Ia terjatuh ke dalam lubang yang membuat perasaannya selalu hancur. Ia cukup lama menyimpan perasaannya terhadap Tiara karena Ia merasa tak mungkin mendapatkan sesuatu yang tinggi kalau memang aku tak mampu untuk menggapainya. Namun, lama-lama Dimas pun lelah untuk selalu menutupi perasaan yang seharusnya di ungkapkan. Hingga akhirnya Ia pun menyatakan apa yang Ia rasa terhadap Tiara.
Hari itu Dimas menanti jawaban cintanya dengan penuh harapan tapi apa daya keinginan kadang tak seperti kenyataan, wanita yang ditunggu-tunggu oleh Dimas ternyata sudah mempunyai pangeran berkuda putih dan itu bukan Dimas.
Harapan yang dulu ada langsung musnah seketika, Ia hanya mampu tersenyum dengan wajah yang muram di depan cermin. Lalu berkata. “Aku sedih? memang, namun Aku senang asal kau pun senang”. Tidak lama kemudian Dimas mengirimkan pesan kepada Tiara. Pesan itu salah satu lirik lagu dari Ada Band.
“Tertegun ku memandangmu saat kau tinggalkan ku menangis, bodohnya ku mengharapmu jelas sudah kau tak pedulikan cintaku”.
Setelah Ia mengirimkan pesak kepada Tiara, Ia tak tau harus bagai mana lagi untuk membuat Tiara mengerti, hingga akhirnya Ia selalu menjauh dan tak pernah bertemu lagi dengan Tiara, Ia lakukan itu agar Ia bisa melupakan Tiara yang kini singgah di hatinya.
Berhari-hari Ia selalu menjauh dari Tiara. Kepedihan, kehancuran dan kerinduan berampur menjadi satu hingga membuat Ia selalu diam dan terus diam.
“Ku hanya terus berharap suatu hari nanti kau mampu sadari tiada yang mencintamu setulus ku mencintai dirimu”.
Hanya lirik lagu itu yang memberikan keyakinan untuk Dimas baha suatu saat nanti Tiara pun akan mengerti bahwa tiada yang mencintainya setulus Ia mencintai Tiara.
Hari itu Dimas dan Tiara masih ngobrol-ngobrol namun pikiran Dimas entah kemana, Ia masih teringat dengan kisah-kisah lalunya dengan Tiara hingga handphone yang dipegang Dimas jatuh dan dan ketika itu Dimas sadar ternyata itu hanya kenangan-kenanganmasa lalunya. Kini Ia dipertemukan lagi dengan Tiara di waktu yang berbeda dan Dimas pun sadar bahwa Tiara itu tidak lebih hanya seorang sahabat dan selamanya mungkin Tiara hanya jadi seorang sahabat. Ketika itu lah Dimas bertemu lagi untuk pertama kalinya dengan Tiara dan Dimas pun menyadarinya untuk apa kita menjauhi sesorang jika kita masih merindukannya, dan kini Ia pun tidak pernah mengingat-ingat masa lalunya yang ada hanya bahagia jika bertemu denagan Tiara walau itu hanya sebagai teman biasa.

Cerpen Karangan: Derif Rys Gumilar
Awalnya aku hanya bisa menatapmu dari jauh. Melihat senyummu, dan melihat kedipan matamu ke arahku, dan kuterpana oleh lirikan dan senyumanmu. Ku mencari tau tentang dirimu bukan karena aku kepo tapi aku peduli terhadapmu dan kupercaya kau akan memberi harapan kepadaku. Kulalui hari demi hari dengan kepercayaan bahwa kau akan memberi harapan itu.
Aku sering melihat kau tersenyum kepadaku, dan selalu kutunggu kau akan memenuhi harapan itu dalam artian kau akan mengucapkan kata yang selama ini kuharap kau ucap. Saat kau lewat di depanku, ku sangat senang karena harapan itu sudah kau perlihatkan untukku. Tetapi waktu terus berjalan dan seakan perlahan akan menimbulkan goresan tinta air mata di dalam kehidupanku, dan aku takut bila hal itu terjadi.
Hal itu kutunggu dan sampai saat ini kau belum mengucapkannya untukku, aku pun hampir menyerah, tetapi menyerah akan menghapuskan harapan itu, aku tetap tegar dengan kepercayaanku, kutetap menunggu kata itu, tetapi kulihat lirikan dan senyumanmu itu tidak tertuju kepadaku lagi, dan kupikir kata yang selama ini kutunggu tidak akan pernah kau ucapkan untukku, dan seakan langit tiba-tiba mendung dan turun hujan yang sangat deras, goresan tinta air mata sudah tertulis di di dalam kehidupanku, aku pun harus tetap tersenyum dan tidak menjatuhkan air mata yang selama ini terbuang dengan percuma, aku tau di luar sana ada yang membutuhkan senyumanku.

Cerpen Karangan: Nur Ulfa Pratiwi
Hari itu merupakan hari pengumuman kelulusan bagi anak-anak kelas 3 SMP. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap anak. Begitu pula denganku. Aku tidak sabar menunggu detik-detik pengumuman itu. Hatiku berdebar-debar saat mendengar siapa saja nama yang dinyatakan lulus. Satu persatu nama disebutkan. Semua yang dinyatakan lulus merasakan satu perasaan. Bahagia.
Nama yang disebutkan sudah semakin banyak. Aku berdoa. Semoga saja aku dapat lulus. Doaku terkabul. Namaku disebutkan. Mikha Elisa Putri. Aku lega. Kekhawatiranku perlahan menghilang dan diganti dengan perasaan senang. Aku tidak sabar untuk pulang dan memberitahukannya pada mama dan papa. Hari ini memang mama dan papa tidak bisa menemaniku ke sekolah. Tapi, itu tidak menjadi masalah bagiku. Melihat wajah mereka yang berseri senang karena tahu aku telah lulus SMP sudah cukup bagiku. Namun, yang kutemukan berbeda dengan apa yang diharapkanku.
Aku merasa heran ketika melihat banyak bendera kuning dipasang di pagar rumahku. Rasa heranku pun bertambah ketika melihat banyak orang di rumahku. Sebagian besar dari mereka merupakan keluargaku. Semuanya berpakaian hitam. Ada juga yang berwarna putih. Aku merinding ketika melihat tante Ratih, adik papa keluar dari rumah sambil menangis. Ketika melihatku, ia segera berlari dan memelukku. Firasatku mengatakan ada yang aneh. Ketika tante Ratih sudah sedikit tenang, ia lalu melepaskan pelukannya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan hal yang tak pernah kubayangkan hadir di depan mataku. Aku melihat papa terbaring kaku di atas tikar. Di sampingnya, kulihat mama sedang menangis. Tak jauh dari sana, kulihat sebuah peti mati. Satu kalimat melintas di pikiranku. Papa sudah tiada. Papa sudah meninggal.
Badanku lemas. Tak terasa air mataku menetes. Tak pernah terbayangkan olehku, aku akan mengalami ini semua. Dalam mimpi pun tidak pernah. Aku menangis. Ini adalah suatu kesedihan terbesar yang pernah kualami. Mama segera datang memelukku. Dalam pelukannya, aku menumpahkan semua kesedihanku. Semua air mataku. Satu persatu kenangan bersama papa terbayang dalam ingatanku seperti sebuah film slide. Perlahan-lahan pandangan mataku menjadi kabur. Semakin lama semakin gelap. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Hanya kenangan bersama papa yang menemaniku.
Aku ingat ketika hari ulang tahunku yang ke 5. Saat itu, papa berjanji akan mengajakku ke Disney Land. Tapi, tiba-tiba saja di kantor papa diadakan rapat penting. Dan papa tidak jadi mengajakku ke sana. Aku sedih. Aku kecewa. Itulah pertama kalinya aku merasa kecewa terhadap papa.
“Papa jahat! Papa kan sudah janji mau mengajak Mikha ke Disney Land. Kenapa tidak jadi?” Kataku di sela-sela tangisku.
“Mikha sayang, kamu jangan marah sama papa, dong. Papa kan tidak bisa pergi karena ada alasannya. Lain kali pasti papa mengajak Mikha ke sana.” Bujuk mama padaku. Tapi aku tidak mendengar apapun yang diucapkan mama. Aku menganggap mama juga sama seperti papa. Sama-sama berbohong padaku. Tapi ternyata tidak. Satu minggu kemudian, papa benar-benar mengajakku ke Disney Land. Kata papa, ini merupakan pengganti hadiah ulang tahunku. Aku sangat senang. Aku menganggap kalau hari itu masih merupakan hari ulang tahunku. Walaupun sebenarnya hari ulang tahunku sudah lewat seminggu.
Pada hari pertama aku masuk SD, papa yang mengantarku karena mama sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Papa juga yang mengucir rambutku dan mendandaniku. Walaupun, akhirnya aku terlihat seperti ondel-ondel. Akhirnya, aku didandani ulang oleh mbok Itun, pembantu di rumahku. Ketika sudah sampai di sekolah, aku selalu berada di dekat papa. Aku tidak mau jauh-jauh dari papa. Aku takut pada teman-temanku, karena tubuh mereka rata-rata lebih besar daripadaku. Bahkan, sampai waktunya untuk masuk ke kelas juga aku tidak berani. Papa sampai harus menemaniku belajar di dalam kelas. Bayangkan saja, papa yang sebesar itu harus duduk di bangku anak SD yang ukurannya lumayan kecil. Guru-guruku sampai tersenyum geli melihat papa yang harus duduk di kursi sekecil itu dan menemaniku belajar. Akhirnya, mereka mengambilkan kursi lain untuk papa.
Kenangan lainnya tentang papa adalah saat aku sakit. Malam itu, tubuhku menggigil hebat dan suhu tubuhku sangat tinggi. Di luar sedang turun hujan lebat dan mobil kami dua-duanya sedang di bengkel untuk diservis. Papa dan mama berusaha mencari taksi ataupun kendaraan umum lainnya. Tapi, malam itu hujan turun dengan lebatnya sampai-sampai sebagian kota Jakarta mengalami banjir, sehingga taksi maupun kendaraan umum lainnya tidak ada yang lewat. Pada saat mama dan papa sedang bingung mencari kendaraan untuk mengantarku ke rumah sakit, tiba-tiba muncul sebuah becak. Papa segera menghentikan tukang becak tersebut.
“Eh, stop, stop, stop…!” Kata papa sambil menghadang tukang becak itu. Tukang becak itu segera menghentikan becaknya.
“Ada apa, pak?” Tanya tukang becak itu bingung.
“Pak, tolong saya, pak. Anak saya sedang sakit. Saya tidak punya kendaraan untuk mengantar anak saya ke rumah sakit. Bapak mau mengantar saya ke rumah sakit?” Tanya papa pada tukang becak itu. Tukang becak itu berpikir sebentar, lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Maaf, pak. Tapi, jalanan sedang banjir dan jarak rumah sakit juga jauh. Saya saja tidak kuat membawa becak saya.” Kata tukang becak itu pada papa.
“Kalau bapak tidak sanggup, biar saya saja yang bawa. Biar becak bapak saya sewa untuk malam ini. Bapak bisa menunggu saya di rumah saya. Kalau bapak mau pulang ke rumah bapak, ini saya kasih kartu nama saya. Bapak bisa menghubungi saya nanti. Ini uang untuk menyewa becak bapak. Kalau kurang, nanti baru bapak bilang ke saya.” Kata papa sambil mengeluarkan kartu nama dan uang RP.500.000 dari dompet dan memberikannya pada tukang becak itu. Tukang becak itu diam sebentar. Ia kelihatan ragu. Tapi, melihat wajah papa yang serius, ia lalu mengambil uang dan kartu nama tersebut. Papa lalu menyuruh mama menggendongku dan naik ke atas becak, sedangkan papa yang mengayuhnya. Bayangkan saja, papa harus mengayuh becak yang ditumpangi mama dan aku sendirian. Belum lagi harus menempuh jarak yang lumayan jauh dan pada saat itu, jalan menuju rumah sakit juga sedang banjir. Tapi, papa berhasil mengantar aku dan mama ke rumah sakit. Sesampainya di sana, papa segera menggendongku dan membawaku ke ruang perawatan. Aku harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Selama tiga hari itu, mama dan papa menemaniku di rumah sakit. Kadang-kadang, hanya papa yang menjagaku karena mama mudah lelah. Itu merupakan salah satu pengorbanan papa untukku. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan papa yang sangat mencintai dan menyayangiku.
Aku tersadar ketika merasakan ada seseorang yang mengelus-ngelus rambutku. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat sesosok wanita paruh baya di depanku. Tante Ratih. Ia menatapku dengan tatapan sendu. Aku melihat di sekelilingku. Ini kamarku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di kamarku. Seingatku, tadi aku sedang berada di ruang tamu. Sedang menangis bersama mama. Lalu aku teringat pada papa. Aku lalu kembali menangis. Aku mengambil sebuah foto. Di dalamnya terdapat foto aku, mama, dan papa. Itu merupakan foto pada saat kami sedang berlibur ke Hawai setahun yang lalu. Di foto itu, wajah papa terlihat sangat cerah. Ia memakai baju berwarna ungu cerah yang sama dengan baju yang aku dan mama kenakan. Itu merupakan liburan paling menyenangkan buatku, dan juga liburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih tidak menyangka itu akan menjadi iburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana debur ombak di pantai, cahaya matahari pada saat terbit dan terbenam, dan juga burung-burung camar yang beterbangan di atas laut. Aku juga masih mengingat saat papa dan aku naik bananaboat bersama-sama. Aku sangat senang pada waktu itu.
“Bagaimana? Kamu senang dengan liburan kali ini?” Tanya papa sehari sebelum kepulangan kami kembali ke Indonesia. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, pa. Mikha senang banget bisa liburan ke Hawai sama mama dan papa.” Kataku bersemangat. Papa hanya tersenyum melihatku. “Kapan kita bisa liburan ke sini lagi, pa?” Tanyaku pada papa.
“Kalau Mikha mau, kita bisa ke sini lagi tahun depan. Tapi, itu kalau Mikha bisa lulus SMP dengan nilai yang baik. Bagaimana? Setuju?” Tanya papa padaku. Aku merasa senang mendengarnya. Sejak saat itu, aku mulai belajar mati-matian agar dapat pergi lagi ke Hawai. Pada saat aku telah berhasil mendapatkan itu semua, papa sudah tiada. Dan ini membuat aku bertambah merasa sedih. Tiba-tiba saja, muncul sebuah pertanyaan di kepalaku. Apa penyebab kematian papa? Kenapa papa bisa meninggal? Aku harus menanyakannya. Pada mama, pada tante Ratih, atau pada siapapun. Orang yang bisa memberikan jawaban padaku.
“Tante, Mikha mau tanya satu hal sama tante.” Kataku pada tante Ratih.
“Kamu mau tanya apa, sayang?” Tanya tante. Aku menarik napas. Berusaha mengambil ancang-ancang. Aku sudah bersiap untuk mengetahui semuanya.
“Tante, apa sebenarnya penyebab kematian papa?” Tanyaku hati-hati. Tante Ratih terlihat sedikit kaget. Tapi, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya padaku.
“Mikha, tante juga tidak tahu pasti mengenai kematian papa kamu. Tapi, kalau menurut cerita mama kamu… papa kamu meninggal karena ia… mengidap tumor otak…” Kata Tante Ratih perlahan. Aku terkejut mendengar penjelasannya. Samar-samar kulihat air mata mulai menggenangi mata tante Ratih. Aku tidak bisa percaya akan ini semua. Papa yang selama ini selalu terlihat sehat, ternyata mengidap tumor. Penyakit berbahaya yang sangat ditakuti oleh semua orang. Dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
Papa menyimpan semuanya seorang diri. Ia berjuang melawan penyakit ini tanpa seorangpun tahu. Ia selalu tersenyum di depanku, di depan mama, di depan kami semua. Tapi, di balik itu semua, ia menyimpan penderitaan yang tak bisa dibayangkan. Hatiku sakit bagaikan teriris seribu sembilu. Aku marah. Marah pada papa karena tidak pernah memberitahu kami tentang penyakitnya. Marah pada diriku sendiri yang tidak tahu tentang penyakit papa. Marah pada Tuhan karena memberikan papa penyakit itu. Aku marah pada dunia karena telah meninggalkan papa seorang diri. Aku marah pada semuanya. Aku merasa dihempaskan ke jurang tak berdasar. Di hantam badai yang takkan pernah berlalu. Aku menangis, aku berteriak, aku memohon pada Tuhan. Aku mohon Tuhan mengembalikan papa. Bahkan, aku rela menukar nyawaku dengan papa. Namun, itu sia-sia. Sekeras apapun aku berteriak, selembut apapun aku memohon, papa tidak akan pernah kembali. Papa tidak akan hidup lagi. Tante Ratih berusaha menenangkanku. Ia berkata kalau ini semua sudah takdir dari yang kuasa. Tapi aku tidak dapat menerimanya. Kata guru agamaku, Tuhan sayang pada orang yang sayang pada anak-anak. Kalau begitu, kenapa Tuhan mengambil papa? Padahal papa sayang padaku. Sayang pada anaknya. Kenapa harus papaku yang diambil? Kenapa? Hatiku bertanya sambil menjerit pilu.
“Tante, papa ada di mana? Mikha mau lihat papa.” Kataku sambil menahan isak tangis.
“Papa masih ada di bawah. Tapi, sebentar lagi mau dimakamkan.” Kata tante Ratih menghapus air matanya.
“Mikha mau lihat papa, tante. Mikha mau lihat papa.”
“Ya sudah, ayo tante antar kamu ke bawah.” Kata tante Ratih sambil membimbingku ke bawah. Aku sangat lemah untuk berjalan. Bahkan, memikirkan bagaimana cara berjalan saja aku tidak sanggup.
Setelah sampai di bawah, mama segera menghampiriku. Ia mencium keningku dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Aku mengangguk dan mama membantuku berjalan menuju peti papa. Aku ingin melihat papa untuk terakhir kalinya. Saat sampai di depan peti mati papa, air mataku kembali bergulir. Aku tak tahan. Aku kembali menangis.
“Papa, kenapa papa ninggalin Mikha? Kenapa papa ninggalin Mikha sama mama? Kenapa papa?” Kataku di sela-sela tangisku. Mama kembali memelukku dan menenangkanku. Tapi, kali ini aku sudah tidak bisa membendung semuanya. Aku masih tidak percaya kalau papa sudah tiada. Padahal, tadi malam papa masih sempat masuk ke kamarku dan mengucapkan selamat malam kepadaku. Malam itu papa terlihat sangat sehat.
“Papa, katanya papa mau mengajak Mikha liburan ke Hawai lagi kalau Mikha lulus, kan? Gimana kita bisa ke sana kalau papa ninggalin Mikha? Bangun papa…! Bangun…!” Kataku semakin histeris. Mama dan tante Ratih kembali menenangkanku. Aku sedikit tenang ketika mama memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Hal yang sering dilakukan mama pada saat aku sedih.
Kami lalu bersiap untuk menuju ke tempat pemakaman. Aku dan mama naik mobil AMBULANCE yang memuat peti mati papa. Setelah sampai di sana, kami semua segera turun dan menuju tempat yang telah disediakan untuk mengubur papa. Acara pemakaman berlangsung khidmat diiringi dengan doa dan tangis untuk papa. Sesaat sebelum peti papa dimasukkan ke liang kubur, aku kembali menangis histeris sambil memanggil-manggil papa.
“Papa…! Papa…! Papa jangan ninggalin Mikha. Mikha tidak mau kehilangan papa. Mikha sayang sama papa. Papa…! Kenapa papa harus pergi secepat ini? Papa kan belum lihat Mikha masuk SMA. Mikha mau papa yang mengantar Mikha ke sekolah. Mikha juga belum bahagiakan papa. Mikha belum membalas semua yang papa lakukan buat Mikha. Mikha mau papa yang menemani Mikha saat nikah nanti. Mikha Mohon, papa jangan pergi…! Jangan, papa…!” Teriakku sambil meronta-ronta. Aku hampir masuk ke liang kubur kalau saja tidak ditahan oleh mama dan beberapa orang yang ada di situ.
Setelah kepergian papa, hari-hariku terasa semakin kelabu. Aku masih sering menangis bila mengingat papa. Aku menangis saat bangun tidur, saat makan, saat pergi dan pulang sekolah, dan saat hendak tidur. Mama juga masih sangat sedih. Namun, kesedihannya itu tidak ditunjukkannya padaku. Karena sering menangis, kurang makan dan kurang tidur, aku jatuh sakit. Aku harus dirawat di rumah sakit. Karena keadaanku semakin parah, aku sempat koma. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Selama itu, aku bermimpi sedang bermain di taman yang sangat indah. Taman itu dipenuhi bunga-bunga indah dan kupu-kupu yang cantik. Di tempat ini, aku dapat melupakan semua kesedihanku. Saat aku sedang bermain-main, aku melihat sesosok laki-laki yang ku kenal. Aku menghampirinya. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Ternyata itu papa. Aku sangat senang dapat bertemu lagi bersama papa. Aku segera memeluknya. Papa juga memelukku. Dalam pelukannya, aku merasa sangat damai. Aku merasa aman. Aku tidak merasa kesepian lagi.
“Papa, Mikha senang sekali bisa ketemu sama papa. Mikha kangen sama papa. Papa jangan pergi kemana-mana lagi ya, pa? Ayo kita pulang. Mama pasti senang karena papa bisa pulang.” Kataku pada papa.
“Mikha, papa juga senang bisa ketemu Mikha lagi. Tapi, papa tidak bisa kembali ke rumah. Tempat papa adalah di sini.” Kata papa lembut sambil membelai rambutku. Mendengar itu aku menjadi kecewa. Aku marah. Aku ingin protes. Tapi aku sadar, memang di sinilah tempat papa yang seharusnya.
“Kalau itu mau papa, tidak apa-apa. Tapi, Mikha mau terus bersama papa. Mikha mau di sini bersama papa. Boleh ya, pa?” Pintaku pada papa. Papa lalu menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa Mikha. Tempat Mikha bukan di sini. Tempat Mikha adalah di dunia bersama mama. Kalau Mikha di sini, nanti siapa yang menjaga mama?”
“Kalau ini bukan di dunia, berarti ini di mana? Ini di surga ya, pa? Papa tinggal di surga?”
“Bukan Mikha. Ini bukan surga. Ini memang seperti surga, tapi berbeda. Papa belum bisa pergi ke surga.”
“Kenapa papa tidak bisa ke surga? Papa kan orang baik. Papa juga sayang sama anak-anak. Seharusnya papa berada di surga. Seharusnya papa bersama Tuhan.”
“Papa belum bisa pergi ke surga, sayang. Itu semua karena Mikha belum merelakan papa pergi. Mikha masih sering menangis, kan? Kalau Mikha terus seperti itu, papa belum bisa pergi ke surga.”
“Jadi, papa tidak bisa pergi ke surga karena Mikha? Karena Mikha sering menangis? Kalau begitu, Mikha tidak akan menangis lagi. Mikha akan selalu tersenyum. Supaya papa bisa sampai ke surga.” Janjiku pada papa. Papa hanya tersenyum. Perlahan papa mulai menghilang. Akhirnya papa menghilang seutuhnya. Aku ingin menangis, tapi kutahan. Aku sudah berjanji pada papa kalau aku tidak akan pernah menangis. Aku ingin papa cepat sampai ke surga. Aku ingin papa bahagia bersama Tuhan. Selamat jalan papa. Semoga papa bisa diterima di samping Tuhan. Mikha selalu menyayangi papa.
Perlahan aku membuka mataku. Kulihat mama tertidur di sampingku. Aku mengelus wajah mama. Mama terkejut. Ia lalu membuka matanya. Ia terlihat sangat senang. Ia lalu memeluk dan menciumku.
“Ma, tadi Mikha mimpi ketemu papa. Kata papa, papa belum bisa sampai ke surga karena Mikha selalu menangis. Mikha belum bisa merelakan kepergian papa. Karena itu, Mikha minta mama juga jangan menangis lagi ya, ma… Mikha juga tidak akan menangis lagi. Tapi Mikha akan selalu tersenyum untuk papa.” Kataku pada mama. Mama mengangguk pelan dan menghapus air matanya.
Dua hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Setelah pulang dari rumah sakit, mama segera mengajakku masuk ke kamar mama dan papa. Di dalam kamar, aku dan mama berdoa pada Tuhan. Kami memohon agar papa dapat diterima oleh Tuhan. Aku juga memohon Tuhan mengirimkan tanda pada kami apabila papa sudah sampai di surga. Keesokan harinya, kulihat pelangi yang sangat indah. Aku menganggapnya sebagai tanda dari Tuhan. Aku segera berdoa mengucapkan terima kasih pada Tuhan, karena telah menerima papa di sampingNya. Di dalam doaku, aku berkata “Tuhan, titip salam rindu untuk papa yang ada di sampingMu…”

TAMAT

Cerpen Karangan: Ria Ratoe Oedjoe
Kau acuhkan ku, kau diamkan aku, kau tinggalkan aku, lumpuhkan lah ingatanku hapuskan tentang dia, hapuskan memoriku tentangnya, hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia, ku ingin ku lupakannya
Terdengar suara dari dalam kamar seorang gadis, gadis itu menyetel salah satu lagu dari band geisha sambil duduk di tepi jendela di kamarnya gadis itu menangis mengenang masa lalunya. Pikirannya menerawang kebeberapa minggu yang lalu saat orang yang dia sayang menyakitinya.
Alex: “maaf aku sudah punya pacar lagi, aku sayang sama dia” .
Lisa: (seerr darah lisa seketika sudah berada di otak dan hatinya sesak menahan tangis) “jadi?”
Alex: “aku lebih memilih dia ketimbang kamu, perasaan aku sama kamu seperti sama teman-teman ku yang lain, hanya sekedar itu”.
Lisa: (dengan tenang dan menahan tangis) “ya sudahlah, aku juga nggak bisa maksa kamu untuk bertahan disini sama aku, semoga kamu bahagia sama pilihan kamu”
“lisa” panggil seseorang membuyarkan lamunan gadis manis itu
“uci? Kok kamu disini?” Tanya lisa pada sahabatnya
“jadi aku nggak boleh main ke tempat sahabat aku nih?” ucapnya
“maaf” ucapku lemah
“kamu masih mikirin dia?” Tanya uci yang sudah sangat dalam mengenal tentang ku bahkan masalah-masalahku
“aku nggak bakalan pernah bisa lupain dia ci” kata ku sambil menatap keluar jendela dan seketika air mata mengalir di pipi ku
“dia udah ngehianati kamu, sadar nggak sih? Kamu mesti move on lis,” ucapnya lagi
“nggak segampang yang kamu bilang ci” kataku sambil bangkit menghampiri meja rias sambil menatap cermin di depanku
“aku kangen kamu yang ceria seperti dulu lis” kata uci menghampiriku
“aku nggak bisa seperti dulu ci, hatiku sudah sangat hancur”
“kamu masih punya aku, Bahkan teman-teman dan keluarga kamu”
“ya aku tau”
“terus kamu mau apa? tetap diam disini dan menikmati semuanya? kamu kira kamu bias begini terus lis?”
“nggak”
“ya kalau nggak kamu move on dong”
“aku coba”
uci tersenyum mendengar ucapanku
Keesokan paginya
Suara merdu putaran jam berdetik keras di kamarku. Lembaran-lembaran foto dan kertas berisikan nama nya itu pun masih berserak di tempat tidurku. Tanpa aku sadari hujan beberapa minggu yang lalu masih meninggalkan baunya disini. Air mata yang mengalir dan belum bisa berhenti. Aku yang masih bergelut dengan bantal dan guling tak mampu membangkitkan diri seolah-olah badanku telah remuk. Masih jelas teringat kata-kata itu “aku mengenalnya baru seminggu yang lalu” kata-kata yang selalu ada dalam benakku, bisa-bisanya alex meninggalkan ku demi cewek yang baru ia kenal satu minggu. Kalimat singkat tapi sangat menyakitkan yang mengantar ku dengan setia ke jurang kegalauaan.
“ah terlalu bodoh aku kalau meratapi hal seperti ini, tuhan itu baik banget, dia tidak ingin ak terusan tersiksa maka dari itu dia secepatnya memisahkan ku dengan pria berwajah malaikat berhati iblis itu” kataku pada diri sendiri. Saat ini aku bertekad untuk enam huruf yang pasti bisa aku lakukan “MOVE ON”, ya, aku harus move on.
Siang itu ku lirik jam yang jarumnya menunjukan pukul 02:15 siang, aku masih terpaku di layar monitor laptop ku menjelajahi facebookku. Tiba-tiba handphone ku berdering suara sms masuk.
Massege dari: 081365XXXXX
“kamu hebat lis, bisa tegar sementara alex sudah membuatmu sangat sakit, kalau saja aku jadi alex nggak kan pernah aku tinggalkan perempuan sebaik kamu lis”
Nggak tau harus jawab apa, ada rasa heran dan senang dalam hati karena masih ada yang berpikiran untuk tidak meninggalkan aku, tapi aku nggak tau siapa yang mengirim pesan singkat itu.
Singkat cerita ternyata dia dony cowok yang uci coba comblangin saka aku. Uci sudah cerita semua sama dony tentang apa yang aku alami. Berulang kali aku bilang nggak mau pacaran maka semakin kuat juga tekad uci buat aku bisa move on dari cerita menyakitkan oleh orang yang namanya nggak boleh disebut. Tapi semua semangat uci untuk membuatku bangkit membuatku mengambil keputusan untuk maju dan menghapus bersih semua ingatan tentang penghianatan itu.
Malam ini di sebuah cafe kecil langgananku aku duduk bersama dony, cowok yang dikenalkan oleh uci. Sejak ceramah panjang lebar dari uci aku akhirnya menerima masukannya untuk bertemu dony. Aku benar-benar nggak sampai hati menolakan tawaran sahabat ku satu itu, dia memang benar-benar serius mencarikan aku pacar baru supaya bisa segera move on dari si berengs*k itu. Tapi pada akhirnya sama dengan cowok-cowok sebelumnya yang uci kenalkan ke aku, semua hilang bak ditelan bumi dengan satu-satunya alasan “aku cuek”.
Sebenarnya tanpa cowok yang dikenalkannya pun aku bisa move on, ceramah sahabatku pada hari itu benar-benar membuat aku move on dengan cepatnya walaupun tanpa pengganti si cowok berengs*k itu.
Sepotong kalimat itu “mungkin saat ini kamu mengira hal yang paling menyedihkan dalam hidup kamu adalah perpisahan dikarnakan penghianatan dari orang yang kamu jaga selama ini? Ingat lis daun yang jatuh tidak pernah menyalahkan angin, rencana tuhan jauh lebih indah untuk mu teman, come on kehidupan yang lebih baik menunggumu di depan sana”
Terima kasih sahabat terbaikku atas sepotong kalimat untuk membuatku move on

Cerpen Karangan: Siska Pratiwi
Keiko memandang langit musim panas yang bertaburan bintang. Tapi perlahan air matanya mengalir, seakan-akan langit yang cantik menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan padanya. Ya, kenangan manis yang berakhir dengan kepahitan untuk Keiko. Kenangan yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.
Jepang, 15 Agustus 2000
“Keiko!” suara itu menyentakkan Keiko dari lamunannya. Ia menoleh ke arah sumber suara, kemudian mendesah lega melihat pemuda yang dinantinya sedang berlari kecil ke arahnya.
“Kazehaya-san.” Sambut Keiko ketika pemuda itu berada di hadapannya dengan nafas sedikit terengah.
“Apakah aku membuatmu menunggu?” tanya pemuda yang dipanggil Kazehaya.
Keiko tersenyum lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku baru beberapa menit disini.”
Sesaat Kazehaya menatap Keiko dari ujung kepalanya, membuat Keiko sedikit salah tingkah ditatap seperti. “Apa kau tau? Ini Festival Musim Panas! Kenapa tidak menggunakan yukata sih?” ucapan Kazehaya membuat Keiko tambah salah tingkah. Ia memandang pakaiannya yang hanya dress terusan berwarna biru laut dengan sepatu flatnya.
“Ah, Maaf. Aku pikir nanti akan merepotkan Kazehaya-san bila aku menggunakan yukata.”
“Bicara apa kamu ini. Aku tidak akan merasa kerepotan. Karena aku kekasihmu.”
“Ah. Ma.. maafkan aku.”
“Ah, sudahlah, Jangan minta maaf lagi. Tahun depan aku ingin melihatmu menggunakan yukata. Sekarang karena kamu sudah begini manis, aku maafkan.” Kazehaya menggenggam erat jemari Keiko, membuat wajah Keiko bersemu merah.
“Ahh, disana ada penjual kembang gula! Ayo kita beli. Bukankah, kamu menyukai kembang gula?” tanya Kazehaya sedikit mengejutkan Keiko. Samar, Keiko tersenyum, kemudian berusaha mengikuti langkah Kazehaya menuju penjual kembang gula yang ditunjuk Kazehaya tadi.
Keiko dan Kazehaya, pasangan muda yang baru jadian beberapa bulan. Pasangan yang sangat bertolak belakang, dan mengejutkan seluruh isi sekolah SMA Tatsuno. Keiko Minagawa adalah salah seorang siswi teladan yang selalu meraih rangking 1 di sekolahnya. Sedangkan Kazehaya Shinji adalah yang terbuntut di sekolahnya, selalu ditegur guru karena datang terlambat, nilai yang jelek, dan kenakalan lainnya. Perkenalan mereka terjadi karena wali kelas Kazehaya yang meminta tolong pada Keiko untuk mengajari Kazehaya agar nilai-nilai pelajarannya meningkat. Awalnya Keiko sangat keberatan, karena ia gadis yang pemalu dan kurang bisa berinteraksi dengan lawan jenis, terlebih lagi pemuda seperti Kazehaya yang terkenal blak-blak’an, tidak peduli cewek maupun cowok. Tapi ternyata setelah ia melewati hari-harinya dengan mengajari Kazehaya, pemuda itu tidak seperti yang Keiko duga. Kazehaya sangat supel, periang, dan optimistis, meskipun terkadang Keiko merasa sedikit sebal dengan kata-kata Kazehaya yang blak-blak’an namun selalu tepat sasaran. Misalnya saja ketika Keiko dimintai tolong oleh seorang guru untuk menyusun daftar murid padahal hal seperti itu adalah tugas para guru, dan Keiko sama sekali tidak menolak. Bukan karena ingin, tetapi karena tidak bisa menolak. Keiko sangat takut para guru akan menganggapnya sebagai murid yang sombong, tidak mau membantu guru karena ia adalah murid teladan. Tapi saat itu Kazehaya kebetulan melihat kejadian itu dan langsung menarik tangan Keiko. Hal itu tentu saja mengejutkan Keiko dan guru itu. Tapi Kazehaya tidak memperdulikan guru yang memanggilnya dan berteriak marah padanya. Ia membawa Keiko ke kelas tempat dimana mereka biasa belajar bersama. Saat itu Keiko ingin marah, karena Kazehaya seenaknya menarik tangannya. Tapi kalimat yang keluar dari mulut Kazehaya membuat Keiko seakan tertusuk. “Apa karena kamu murid teladan jadi kamu harus melakukan semua hal itu meskipun kamu tidak ingin sekalipun?” ucapan itu membuat Keiko tertegun dan terdiam. Ia tidak bisa berkata apapun, dan saat itu tubuhnya bergerak sendiri. Ia berlari meninggalkan Kazehaya.
Keesokan harinya, Kazehaya meminta maaf pada Keiko dan membuat suatu pernyataan yang membuat Keiko terkejut. Kazehaya menyatakan cintanya. Pada awalnya Keiko hanya berpikir Kazehaya tidak serius dan hanya ingin mempermainkannya. Tapi, Kazehaya adalah pemuda yang pantang menyerah. Setiap hari ia menyatakan cintanya pada Keiko, membuat Keiko tanpa sadar jatuh cinta pada Kazehaya, dan akhirnya menerima Kazehaya menjadi kekasihnya.
Hari ini, tepat 3 bulan Kazehaya dan Keiko menjadi sepasang kekasih. Selama 3 bulan pula, Keiko belum pernah menyatakan perasaan sayang dan sukanya pada Kazehaya. Setiap ingin mengungkapkan perasaannya, jantung Keiko akan berdegup dengan sangat kencang, wajahnya semerah kepiting rebus, dan lidahnya seakan kelu. Tapi Kazehaya tetap menanti, hingga Keiko bisa mengungkapkan perasaannya.
“Ini kembang gulanya.” Ujar Kazehaya seraya menyerahkan kembang gula berwana pink pada Keiko.
“Terima Kasih.” Ucap Keiko dengan senyum samar, dan langsung melahap kembang gula yang sudah berada di tangannya. Kazehaya mengerutkan dahinya, memandang kekasihnya yang belepotan dengan kembang gula, kemudian tersenyum kecil. Tiba-tiba, pemuda itu menunduk dan mencomot sedikit kembang gula yang berada di tangan Keiko. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centi, membuat Keiko secara refleks menjauhkan wajahnya dan menunduk menyembunyikan wajahnya yang semerah kepiting rebus.
“Ini, benar-benar manis.” Kazehaya mengernyit tidak suka, sedetik kemudian ia menampakkan sederet giginya yang putih dan cemerlang pada Keiko.
“Kenapa wajahmu semerah kepiting rebus Keiko?” tanya Kazehaya dengan nada menggoda di dalamnya. Keiko mengigit bibirnya, menundukkan kepalanya semakin dalam.
“Apa kau sakit?” tanya Kazehaya lagi seraya menempelkan dahinya pada dahi Keiko. Tentu saja hal itu membuat Keiko semakin salah tingkah.
“Ah, ti..tidak. i..itu..” Keiko tergugup sambil menggoyangkan kakinya. Membuat Kazehaya tidak bisa menahan tawanya.
“Haha.. Kau lucu sekali.. benar-benar manis. Aku menyukaimu Keiko.” Kazehaya tersenyum lembut sambil mengusap pipi Keiko yang bersemu merah.
“A..akuu.. juga su..su..” Keiko mengigit bibirnya berusaha membalas perasaan Kazehaya.
“Apa yang ingin kau katakan? Aku tidak bisa mendengarnya.”
“Aa..ku..Su..su..”
“Ah, sudahlah. Ayuk jalan.” Kazehaya membalikkan tubuhnya. Keiko menunduk kecewa, lagi-lagi ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya.
Besok aku harus bisa mengatakannya. Janji Keiko pada dirinya sendiri. Malam itu, menjadi kenangan yang tak terlupakan oleh Keiko. Berulangkali Kazehaya melakukan hal yang tidak bisa Keiko tebak sendiri dan seringkali membuat Keiko salah tingkah. Tapi Kazehaya juga memberikannya senyum, tawa dan perasaan senang yang sangat jarang Keiko rasakan.
Jepang, 18 Agustus 2001
Keiko memandang langit musim panas yang bertaburan bintang. Begitu indah dan menawan. Tapi tidak dapat menutupi perasaan Keiko yang begitu kelabu. Perlahan, ia melangkah dengan gontai, melewati beberapa stand yang menjual berbagai macam benda dan permainan, khas festival musim panas. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Keiko. Tiba-tiba, langkah Keiko berhenti di salah satu stand permainan menembak. Ia ingat, stand itu pernah ia kunjungi bersama Kazehaya. Di stand itu, Kazehaya hampir menembak semua boneka yang ada, dan membuat pemilik stand panik karena Kazehaya terus dan terus memaksa untuk mengambil semua boneka yang ia tembak. Hal itu membuat kehebohan di antara Kazehaya dan pemilik stand. Pada akhirnya Kazehaya hanya diberi 2 boneka saja. Mau tak mau Keiko tertawa melihat ekspresi Kazehaya yang merengut. Keiko tersenyum kecil mengingat hal itu.
“Apa nona sendirian?” tanya seraut wajah tua yang berdiri di samping stand. Keiko mengangguk pada lelaki tua itu yang ia kenal sebagai pemilik stand.
“Ah, nona yang dulu itukan? Dimana pemuda yang dulu bersama anda?” tanya pemilik stand itu lagi, membuat Keiko terdiam.
“Dia.. dia.. dia.. kecelakaan dan.. dan meninggal, setelah.. pulang dari festival tahun lalu.” Jawab Keiko dengan suara tercekat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kilasan memori itu menghampirinya lagi.
Malam itu, seusai festival musim panas, Kazehaya mengantar Keiko pulang. Saat itu Keiko tidak tau apa yang akan terjadi. Sesaat setelah mengantar Keiko tepat di depan gang rumah Keiko, sebuah mobil melaju kencang. Kazehaya yang tidak menyadarinya, tak dapat menghindar. Dan tabrakanpun terjadi. Keiko yang baru beberapa langkah, menoleh dan mendapati Kazehaya yang terbaring di aspal dengan berlumuran darah. Dengan segera Kazehaya dibawa ke rumah sakit, tapi nyawa Kazehaya tidak tertolong lagi. Saat mendengar hal itu, dunia Keiko seakan menjadi gelap, ia menangis dan terus menangis. Hingga hari inipun ia masih tidak dapat melupakannya.
“Aku sudah menggunakan yukata, Kazehaya-san. Kenapa kamu tidak datang?” ujar Keiko lirih di sudut taman tempat festival berlangsung. Keiko ingat, taman itu adalah tempat Keiko dan Kazehaya makan seporsi besar takoyaki bersama, hingga Kazehaya tidak kuat untuk berjalan lagi dan terpaksa mereka harus duduk sebentar sambil memandang bintang.
Suasana musim panas tahun lalu, seperti suasana musim panas tahun ini, tapi tanpa Kazehaya di samping Keiko. Dan dengan penyesalan yang selama ini selalu Keiko rasakan, ia tidak sempat mengungkapkan perasaannya.
“Seandainya aku tau.. Seandainya aku tau, kamu akan pergi secepat ini Kazehaya-san. Aku akan mengungkapkannya. Kazehaya-san, aku menyukaimu, aku mencintaimu.” Ujar Keiko tulus di sela tangisnya, air matanya mengalir deras. Tiba-tiba angin bertiup kencang, memaksa Keiko melindungi matanya dari debu yang berterbangan. Setelah angin reda, Keiko membuka matanya perlahan. Sesaat ia tertegun memandang sesosok pemuda yang berada di hadapannya.
“Kazehaya-san..” gumamnya lirih. Pemuda itu menatap Keiko dengan lembut dan senyumnya yang hangat. Kemudian mendekat dan menundukkan kepalanya, mencium kening Keiko lembut.
Seperti angin, pemuda itu membisikkannya dengan suaranya yang khas “Aku tau, kalau kau sangat mencintaiku. Hiduplah bahagia. Aku mencintaimu.” Kemudian angin bertiup lagi, membuat Keiko memejamkan matanya sekali lagi. Ketika ia membuka matanya, air matanya mengalir lagi, lebih deras. Ia tau, ia tidak bermimpi. Perkataan pemuda itu masih terngiang di telinganya, ia masih bisa merasakannya hangat ciuman yang diberikan pemuda itu. Perlahan, Keiko mengusap matanya yang sembab, kemudian menatap langit dan tersenyum lembut.
“Terima kasih Kazehaya-san.”

Cerpen Karangan: Yvonemelosa
Di atas gundukan tanah merah tawa kita merekah. Dulu kita bahagia bersama, menghabiskan masa sebelum kita benar-benar serius ingin menggapai asa. Dulu berlarian tanpa alas kaki dan merebah pada lempeng bumi yang beratap langit biru adalah kegemaran kita. Aku tak pernah mengeluh atas kesederhanaan hidup yang kita jalani. Aku selalu mengingat setiap ucapan polos penuh makna mu yang memotivasiku “kita akan sulit bahagia jika kita juga sulit bersyukur”. Darimu aku belajar banyak.
Dulu tanganmu tak sungkan menggengam pada sela-sela jemariku saat diri ini tak mampu lagi mendaki. Dulu pundakmu begitu kuat menggendongku di saat aku kelelahan untuk berjalan dan kembali pulang. Dulu kamu selalu melindungiku. Sosok perkasamu tak pernah aku lupa. Kamulah pembela dari segala kegaduhan dan kejahilan anak-anak nakal yang mengusiliku. Hal lain yang aku senangi dari dirimu yaitu kamu tak pernah sombong atas kepintaran yang kamu miliki. Tak pernah malas dan angkuh dalam mengajari ulang aku setiap pelajaran IPA dan matematika yang diajari ibu guru di sekolah. Betapa itu pelajaran yang susah namun rasanya begitu mudah bagimu. Aku selalu merasa nyaman saat berada di dekatmu, dalam segala kondisi, dalam setiap keadaan. Aku bahagia.
Pernah ingat harapan dan keinginan kita? Mungkin ini hanyalah sebuah angan, namun bagaikan ikrar kita berdua yang terlontar saat kita duduk bersama di atas bukit yang menghijau. Kamu dan aku pernah punya cita-cita, kita berdua ingin menjadi dokter. Dulu kita ingin mengelilingi dunia. Dulu terselip keinginan kita untuk pergi ke negeri cokelat. Dulu kita pernah memiliki mimpi untuk membangun sebuah kerajaan. Kamulah rajanya dan aku sebagai sang ratu. Masih ada lagi berjuta harapan yang pernah kita rangkai bersama, terkandung dan diam bersahaja dalam sebuah rantai impian.
Aku dan kamu, kita selalu bahagia. Dalam canda kuselipkan cinta diam-diam. Cinta tak berucap yang aku harap dapat terbalaskan. Walaupun aku tak tau pasti kapan itu akan terjadi.
Suatu hari, aku menemukanmu sedang duduk tersenyum di bawah pohon apel.
“Aditya, kamu kok senyum-senyum sendiri?” aku mendekatimu, lalu duduk tepat di sampingmu.
Melihat kedatanganku, kamu tiba-tiba saja memelukku, begitu erat sehingga aku sedikit sulit untuk bernafas. Tapi itu menyenangkan. Kamu lalu menunjukan sebuah lipatan surat putih kepadaku.
“Apa ini?”
“Buka saja. Sudah lama sekali, dan akhirnya kesampaian juga” kamu lalu tersenyum begitu lebarnya hingga sederet gigi putihmu tergambar indah.
Kira-kira apa yang membuatmu sebahagia itu? Sebuah surat? Tapi apa isinya? Apakah ini sebuah surat cinta? Apakah ini surat cintamu? Untuk aku? Apakah ini secarik kertas berisikan perasaanmu kepadaku? Aku bertanya pada gerangan.
Tanganku gemetaran membukanya. Entahlah, aku hanya berharap sesuatu yang baik.
“Be-beasiswa? Kamu dapat beasiswa!? Ke l-lua negeri?!” Aku berteriak dan tersentak kaget.
“Iya!!! Sudah lama aku mendambakannya! Aku berhasil Nania! Aku seneng banget!!” Adit lalu melompat dari tempatnya dan memelukku lagi. Namun kali ini lebih erat. Aku lalu membalas pelukan itu.
Dalam sebuah pelukan kecil aku menangis terharu. Walaupun isinya tak seperti yang aku bayangkan, namun aku sudah benar-benar bahagia dalam keberhasilanya meraih beasiswa ke negeri orang, itu pencapaian yang sangat luar biasa. Aku bahagia dalam bahagianya.
“Jadi itu berarti kamu akan pergi?” tanyaku memelas.
“I-iya..” dia sedikit ragu menjawab.
“Kapan kamu pulang?”
“Aku tak tau, mungkin 4 tahun lagi”
“Mengapa begitu lama?” aku sedikit menggigit bibirku
“Karena kita membutuhkan waktu yang lama untuk belajar”
“Tapi kamu tetap akan kembali ke sini kan?”
“Iya aku janji” dia lalu mengangkat kelingkingnya, demikian hal nya dengan aku. Kami berjanji kala itu. Untuk kembali ke tanah ini, sekitar 4 tahun lagi.
Dalam bahagia akupun bersedih. Aku berusaha menghilang dari perasaan yang mulai menggelitik semakin merajam. Namun semakin lama justru aku semakin sulit tuk bernapas dan bergerak dalam ruang hati yang terkunci oleh cinta yang bersembunyi.
Diam-diam aku menyukaimu. Entahlah, apakah sama halnya dengan dirimu ataukah justru sebaliknya? Kamu pernah berkata padaku “Kamu boleh kok anggap aku sebagai kakak kandungmu sendiri, walaupun umur kita sama”. Tapi bagiamana jika aku menganggapmu lebih? Bolehkah? Jika tidak boleh, lantas bagaimana jika semuanya telah terlanjur? Aku sudah terlanjur jatuh cinta karena hatimu. Aku selalu ingin berada di dekatmu, selalu.
Cinta itu semakin membesar dan memenuhi seluruh ruang jiwa. Aku tak berani berucap dalam jujur. Walau aku tau dimanapun kita bersembunyi cinta tetap akan menemukan kita. Tapi aku tak berharap cinta akan menemukanmu kala itu. Dan taukah kamu? Aku berhasil, aku memenangkannya! Cintaku berhasil aku sembunyikan. Cinta yang aku miliki pun tak mampu menemukanmu. Ya tentu saja karena cinta itu nampaknya tak bisa melangkah sejauh langkahmu meninggalkanku.
Aku tak pernah bersedih dan menghakimi Tuhan atas perpisahan kita. Aku justru berterimakasih kepada-Nya atas kepintaran yang telah dianugerahkan kepadamu sehingga kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di luar negeri dengan standar mutu yang lebih baik. Hingga saat ini, setelah kamu pergi meninggalkan tempat kita, aku tak pernah tau kejelasan atas perasaanmu kepadaku. Tapi tak apa, aku akan menunggu dengan setia.

Setiap malam bintang menghujan langit hitam. Kelap-kelip yang selalu kita lihat bersama kini hanya mampu aku nikmati seorang diri. Aku masih mencintai tanah ini, tempat masa kecil kita yang telah memberikan berjuta kenangan. Setidaknya disinilah Tuhan pernah mempertemukan kita, walaupun di tempat ini pula kita dipisahkan.
Terlalu banyak pertanyaan berputar dan bermuara pada otakku saat ini. Kamulah tersangkanya. Kamu penyebab dari kepusingan dan kegundahan yang selalu aku rasakan. Bagaimana dengan keadaanmu? Seperti apa sekolahmu di sana? Bagaimana dengan teman-teman barumu? Bagaimana dengan hobbymu? Masih samakah? Masih ingat dengan aku? Ah.. mungkin saja kamu sudah lupa. Aku hanya kawan kecilmu yang tidak terlalu istimewa. Aku hanya seorang gadis kecil berkuncir dua yang sulit untuk mengikat tali sepatunya sendiri. Aku hanyalah seorang gadis yang suka ngambek kalau direbut permen lolinya. Aku hanya gadis kecil dengan segala sifat kekanak-kanakannya. Aku hanya gadis kecil yang menyukai warna merah muda dan boneka teddy. Aku adalah seorang gadis kecil yang tak pantas namun telah lancang untuk menyukai… dirimu. Maafkan atas kelancanganku ini.
Aku sempat menduga kamu telah melupakan semuanya, tentang kita dan tempat ini. Aku sempat mengira kejeniusan otakmu telah benar-benar membawamu pada dunia yang berbeda. Dunia tempat tinggalmu, penuh dengan kemudahan teknologi yang berisikan orang-orang brilliant. Duniamu yang baru, aku takut telah mengubah kawan kecilku yang dulu.
Tapi tidak, doktrin dan segala pikiran ngawurku yang sudah telontar sangat jauh ternyata salah. Kamu kembali pulang. Kamu kembali ke tempat kita, sayang. Aku tak ingin melepaskanmu kali ini. Tidak lagi, kamu jangan pergi lagi. Jika kau temui seseorang yang pertama kali menangis di saat kepergianmu, maka itulah aku.
“Kenapa kamu gak bilang-bilang aku dulu kalau kamu mau datang? Kan biar aku bisa siapin makanan-makanan enak. Aku udah bisa masak loh?” Aku tersenyum lebar, mengacungkan jempol kananku mantap.
“hehehe, aku cuma mau liburan aja. Aku mau memberitahukanmu sesuatu. Yah hitung-hitung mau ngasih surprise aja” Angin berhembus lembut diiringi tawa manisnya yang merekah indah.
“Surprise? Apa itu?”
“Itu artinya kejutan” Jawabnya santai.
“Oh haha. Oke Kejutan. Kamu emang udah bener-bener ngejutin aku banget. Tapi jujur aja aku seneng dengan kehadiranmu” Aku berucap dengan entengnya, tanpa menyembunyikan apapun yang ingin aku katakan.
“Haha.. eh anyway aku mau ngasih tau kamu sesuatu loh? Sesuatu yang spesial banget!”
“Apa Dit?”
“ada deh, hehe bukan sekarang”
“Ih kamu ini bikin penasaran deh. Kapan dong?”
“um entar deh aku hubungin kamu lagi”
Mungkinkah? Hal yang ingin dia sampaikan padaku itu merupakan jawaban dari penantianku selama ini? Apakah setelah 4 tahun kita dipisahkan Tuhan? Dan inikah hasilnya? Inikah takdirMu Tuhan? Benarkah? Jantungku berpacu kuat, sekuat rusa yang berlari kencang, menghindar dari busur panah.
“Hey Nania, kamu ngelihatin apa sih? Kok bengong gitu tiba-tiba. Haha masih sama aja kayak dulu, sukanya bengong wae” Aditya lalu megacak-acak pelan rambutku, sesuatu yang sangat aku sukai dari dia. aku seperti merasa… di sayang?
“Ah enggak hehe” jemariku mulai memainkan gerakannya, merapikan rambutku yang sedikit berantakan dalam frekuensi tetap selama beberapa detik.
“Oh iya besok pagi aku mau pergi ke air terjun nih”
“Kamu mau ngajakin aku gitu maksudnya?” Ya ampun pipiku jadi memerah malu.
“eh, iyah? Sebenarnya.. ada yang ingin aku tunjukan padamu disana”
“Ada apa? Kok kamu..”
“ah enggak papa, besok pagi jam 8 aku jemput kamu ya? Aku udah lupa soalnya jalan menuju kesana makanya kamu ikut aku ya?” Aditya menggaruk pelan kepalanya.
“oke hehe”
Ya Tuhan, aku tidak sabar. Sudah lama aku menanti-nantikan kesempatan seperti ini. Teman kecil yang Engkau pertemukan kembali. Betapa beruntungnya aku.
Langit berangsur-angsur menunjukkan efek tyndal. Warna biru telah tergantikan menjadi orange lalu kemudian hitam memenangkan semuanya, kembali memakan langit dan terselimut gelap malam.
Semalaman aku sulit untuk tertidur. Mengapa jam berputar sangat perlahan? Ayolah! Ingin rasanya aku menendang setiap jarum jam yang bergerak per detiknya. Agar dia semakin cepat! Agar aku bisa beremu Adit lagi, aku kangen ya Tuhan.
Sedikit demi sedikit aku terbuai jauh masuk melampaui batas alam sadar manusia. Aku tertidur.

“Nania, kok siap-siapnya lama sekali kamu? Ayo buruan, sudah di tunggu Adit di depan tuh” Bapak berteriak dari arah ruang tamu. Suaranya terdengar dengan sangat jelas sampai di kamar.
“Iya Pak, bentar lagi Nania keluar kok” Aku berusaha menyahut seruan itu.
“Ah tidak apa-apa kok pak, pelan-pelan saja” Terdengar pelan suara Aditya yang berkata kepada Bapak. Lalu keduanya tertawa.
Aku lalu keluar kamar. Memakai baju short dress biru bermotif bunga-bunga. Tidak, kali ini bajunya tidak seperti anak kecil. Umurku sudah 18 Tahun, tidak lagi berbaju short dress pink dan berkuncir dua.
Kami lalu menaiki mobil Aditya. Sepertinya dia memang telah lupa arah jalan menuju air terjun. Padahal dulu dialah kompasku, penunjuk jalan kemanapun kami ingin bepergian. Yah waktu memang memiliki kemampuan dan kekuatannya sendiri dalam mengubah seseorang, mengubah ingatan, karakter dan pola pikir, apapun itu. Sepertinya sekaranglah giliranku, penunjuk arah ke salah satu tempat favorit kami dulu. Tak heran, memang sudah cukup banyak perubahan di sini, selain akses jalan yang sudah lebih bercabang. Tapi sebenarnya tak jauh berbeda.
Sepanjang perjalanan Aditya memang sibuk menyetir dan bertanya arah padaku. Tapi ada satu hal yang sedikit mengusikku. Dia juga terlihat begitu sibuk dengan hapenya, tertawa dan tak henti mengutak-atik setiap tuts mungil itu menggunakan tangan kanan semntara tangan kirinya tetap menyetir. Aku hanya bertanya-tanya, memangnya hal menarik apa yang ada dalam kotak elektronik kecil itu?

“Akhirnya sampai! Kok rasanya jauh ya? Padahal waktu kecil dulu serasa cuma berjalan kaki lima menitan doang hehe” dia menarik napas dalam dan menghembuskan, dalam.
“Haha, itu karena kita menikmati setiap langkah kita dulu. Kita juga menikmati setiap waktu yang berlalu hingga lelah tak pernah terasa begitu nyata” iya, aku memang menikmati semuanya, terutama.. terutama saat bersama kamu Adit. Ah andai kamu tau.
“iya iya mungkin kamu benar. Setuju banget aku” dia tersenyum.
Wajahnya masih sama, tak satupun berbeda kecuali goresan pada lekukan pipinya sedikit lebih banyak dan raut wajah yang telah lebih dewasa.
Dari kejauhan terdengar suara seorang cewek yang memanggil nama Aditya. Nampak seorang cewek yang baru keluar dari sebuah mobil hitam mewah. Cewek itu cantik. Benar-benar bergaya ala cewek metropolitan. Rambutnya sepanjang pinggang, hitam lebat dan sedikit bergelombang. Kulitnya putih dan bersih. Dia memakai celana jeans selutut, kaos putih polos yang dilapisi rompi hitam dan kalung dengan leontin berbentuk hati yang setiap ujungnya seperti dilapisi intan-intan kecil dan di bagian dalamnya terdapat huruf A&N. indah sekali kalung itu. Dia berjalan perlahan, terlihat sangat anggun walaupun dengan style seperti itu di tambah lagi sepatu kets putih di kaki. Dia menggantungkan tas kecil di tangan kirinya lalu menghampiri Adit dan merangkulnya.
Aku tersentak kaget. Berani sekali cewek itu. Apakah dia… ah tidak mungkin. Aku tidak mau berpikir hal-hal yang buruk.
“A-adit..”
“Oh iya Nania, ini Nayla”
“H-hai Nayla. Aku Nania” kami lalu berjabat tangan. Tangannya lembut. Sepertinya dia tak pernah memegang benda kasar, tak mungkin.
Aku masih terpesona padanya. Dia seperti sosok cewek yang, sempurna. Dan jika aku bandingkan dengan diriku, tak mungkin kami sebanding, tak mungkin selevel, tak mungkin sama! Tak mungkin. Aku sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Masalah kecantikan, teralu banyak cewek cantik yang pernah aku lihat di televisi walaupun dia salah satunya. Tapi, mengapa rangkulannya terlihat begitu mesra? Aditya justru membalas untuk merangkul leher panjang dan ‘wah’ nya itu. Aku cemburu! Wajahku memerah! Tidak boleh Adit! Kamu tidak boleh sedekat itu. Setidaknya kamu tidak boleh seperti itu di depanku.
Nania bodoh! Tak tau dirikah kamu? Hah, berani sekali. Memangnya ada hak apa aku ini? Aku bukan siapa-siapanya. Iya! Aku bukan siapa-siapa kamu Adit! Aku aku tak tau diri! Tapi sakit… sakit sekali.
“Nania, ada apa?” Adit menaikkan alis kanannya, memperhatikanku.
“A-ah eng-enggak kok” aku menunduk.
“Ini dia surprise yang aku maksudkan” Adit menepuk pelan pundak cewek yang bernama Nayla itu.
“Aku tunangan Adit” Nayla menggoreskan senyuman manis di bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda.
Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Dadaku berhenti kembang-kempis. Bola mataku hampir meloncat keluar. Lidahku kaku. Tanganku membeku. Tubuhku tak serasa lumpuh!
“Ja-jadi kejutannya…”
“iya tanggal 23 November nanti kami akan menikah. Aku ingin memperkenalkan seluruh kehidupanku dulu kepada dirinya” katanya. “Termaksud kampung halamanku, dan kamu. Pokonya semua masa kecil dan hal-hal yang mencangkup tentang aku deh! Hehe” dia lalu tertawa.
Masa lalumu. Iya benar, aku memang hanya sampah masa lalumu. Dalam tawa yang sedang menghiasi wajahmu, aku menangis. Tak ada lagi kisah indah yang aku bayangkan akan terjadi setelah kedatanganmu. Tak mungkin lagi segala hal dan kejadian kita dulu akan terulang.
Kalian lalu bermain air terjun bersama. Setiap air yang menetes, embun yang dihasilkan, tawa yang merekah, bahagia yang terlukis jelas… kalian memang sangat serasi. Aku lebih memilih duduk sendiri. Dari kejauhan aku hanya mampu melihatmu. Dari kejauhan aku hanya mampu memanggil namamu dalam diam. Dari kejauhan aku mampu mencintaimu. Hanya dari kejauhan aku mampu memandangimu. Dari kejauhan aku menangisimu. Dari kejauhan cintaku rasanya telah hanyut. Terbawa air terjun yang jatuh dari ketinggian 20 meter itu.
Tak seorangpun tau aku bersedih. Tak ada yang menyadari aku menangis. Di atas batu besar aku sandarkan kesedihanku sendiri. Percikan air terjun telah menyatu dengan air mataku, tak mungkin ada yang mampu membedakan antara mereka, baguslah. Dalam sedu aku tersenyum saat kau menoleh padaku. Tak maksud aku menghancurkan kebahagiaan kalian. Tidak. Mencintai diam-diam selalu terasa sakit. Apalagi jika orang yang kita cintai tak pernah sadar kalau kita mencintainya dan justru lebih memilih untuk mencintai orang lain. Cinta yang di pendam itu tidak lebih baik, Karena cepat ataupun lambat, cinta itu mampu membunuh mereka yang masih saja memendamnya.
Memendam cinta, sakit bukan main. Rasanya hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa engkau harus datang lagi? Jika selanjutnya aku tau kau akan pergi dan meminang wanita lain. Mengapa aku harus jatuh cinta padamu? Mengapa aku begitu yakin pada perasaanku bahwa kamulah masa depanku? Padahal bukan! Mengapa kali ini Tuhan memberiku cobaan yang mampu menyayat perasaanku hingga ulu hati? Sakit sekali! Iya sakit! Mengapa aku harus cinta padamu? Jadi sia-siakah penantian panjang yang telah aku lakukan? Hilanglah sudah waktu berhargaku, menunggu sesuatu yang justru menyakitkanku.
Jadi jelas sudah. Aku mengerti rasanya, KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA.

Cerpen Karangan: Niluh Ayu Mutiara Ariyanti
Aku tidak henti-hentinya memainkan pulpen yang ada di tangan kanannya. Mataku menerawang, dia tidak sedang fokus kepada pulpen itu. Lalu cerita 23 jam yang lalu kembali terputar di otakku.
“Cukup! Aku sudah lelah pa, aku merindukan anak itu!” Jantungku seakan berhenti sejenak. Anak itu?
“Aku mengerti ma, tapi polisi pun sedang berusaha di luar sana. Kita hanya bisa menunggu kabar dari polisi. Tolong ma, pikirkan Key juga.” terdengar suara papa yang tetap tenang dan wibawa.
“Aku ga mau tahu, pa! Aku akan cari dia!”
“Ma! Mama!” Dan itu saat terakhir aku melihat mama. Ya, mama pergi mencari anak itu, aku tak tahu namanya siapa. Aku yang dari tadi hanya bisa berdiri di belakang tembok, melangkah keluar, memperlihatkan diriku pada papa. Papa terlihat kaget. Namun sambil memegang dahi di kepalanya, papa berkata, “papa akan jelaskan semuanya ke kamu.”
Aku Key, anak perempuan yang dari kecil sudah bersama orangtuaku. Yang aku tau, sampai saat ini aku berumur 17 tahun, aku anak sematawayang. Namun semalam papa cerita semuanya. Aku punya kakak laki-laki, Rey. Dia menghilang saat terjadi kebakaran di komplek perumahan kami. Aku masih di dalam kandungan saat itu. Sedangkan kakakku itu, berumur 2 tahun. Aku masih tidak percaya. Dan papa memberitahuku bahwa selama 17 tahun ini papa sudah mengerahkan polisi bahkan detektif untuk mencari kakakku itu. Tapi hasilnya nihil. “papa ga mau kamu seperti mama Key, cukup papa dan mama yang merasakan ini.”, begitu jawaban papa saat aku bertanya mengapa selama 17 tahun papa tidak bicara apa-apa mengenai masalah ini.
“Hoi, Key!!!” Aku terlompat kaget dan pulpenku jatuh. Kepalaku berputar cepat ke arah teriakan temanku. Rick. Aku melengos dan mengambil pulepnku, lalu berpura-pura membuka buku. Rick hanya terkekeh, lalu duduk di kursi depanku.
“Pagi-pagi udah melamun aja, kenapa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Oh, ayolah, masa begitu saja kau kesal?” Rick merajuk. Aku hanya meliriknya sebentar, lalu kembali fokus pada buku di depanku.
“Oke, maafkan aku. Kau tahu sendiri, aku orangnya iseng.” Rick terkekeh lagi.
“Sekarang beritahu aku, apa yang kau pikirkan?”
Ricky Dellson. Sahabat baikku dari aku SMP. Biasanya aku selalu curhat ke dia masalah apapun yang aku alami, apapun, bahkan ketika aku PMS. Tapi untuk masalah ini, aku rasa belum saatnya aku cerita kepadanya.
“Tidak ada apa-apa, Rick. Aku lapar, ayo temani aku ke kantin!” aku langsung berdiri dan berlalu di hadapannya.
Menyukainya? Oh, kalian tidak perlu tanya itu. Aku sangat menyukainya. Dia tampan, tinggi, pintar. Oh ya, dan dia juga melindungiku. Itulah kenapa aku bersahabat dengannya. Aku tidak berniat menjalin hubungan pacaran dengannya karena aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku dan aku benar-benar menganggap dia teman terbaikku. Rick putus sekolah saat kelas 3 SMP di Amerika, dan mengulang lagi akhirnya kelas 1 SMP disini. Aku dan dia beda 2 tahun. Aku tidak berharap hubungan pacaran dengannya, dekat seperti ini saja pun membuat aku senang.
“Kau mau kemana?” Kakiku terhenti. Aku mengerjapkan mata 3 kali, lalu memandang sekelilingku.
“Tadi katanya mau ke kantin, kan? Lalu kenapa malah ke perpustakaan?” Aku langsung memaki diriku, kalau seperti ini terus Rick akan tahu kalau aku sedang memikirkan masalah serius. Aku berbalik badan, menatapnya dan nyengir selebar dan senormal mungkin.
“Hanya iseng, tadi mau cek apakah sudah ada novel keluaran terbaru!” Ucapku girang, lalu berjalan cepat mendahuluinya. Rick hanya menggelengkan kepalanya.
Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela di kantin, smeentara Rick memesan makanan. AKu menatap keluar jendela dan mengehmbuskan nafas pelan. Bagaimana ini? Mama sedang ada dimana sekarang? Mataku berlinang. Sadar akan hal itu, aku langsung buru-buru mengusap mataku sambil berbalik menghadap tembok. Rick datang.
“Nah, ayo makan.” Aku melirik makanan yang dia bawa dan tersenyum.
“Kau tahu persis apa yang aku suka, Rick.” Bakso dengan bawang goreng dan bihun yang banyak. Tidak ada daun seledri, tidak ada kecap, tidak ada saos.
“Hahaha, kau lupa sudah berapa lama kita berteman dekat?” Aku hanya tersenyum. Banyak teman-teman kami yang menganggap kami sudah pacaran, tapi segera aku luruskan kenyataan itu.
Malam itu aku lihat papa duduk sendirian di ruang tamu sambil mengamati foto. Penasaran aku dekati papa dan duduk di sampingnya. Papa menengok sebentar ke arahku, lalu memberi foto itu. Foto bayi telanjang berbaring di tempat tidur?
“Siapa ini, pa?”
“Rey.” Aku fokuskan kembali mataku ke foto itu begitu mendengar nama itu.
“Perhatikan, ada tanda lahir di bagian perutnya.” Aku melihat pelan-pelan, menelusuri setiap bagian tubuh bayi di foto itu. Dan memang ada, bentuknya tidak jelas, tapi jadi seperti tato.
“Ini tanda lahir?” Aku bertanya memastikan tanpa mengalihkan pandanganku. Papa mengangguk.
“Papa takut.” Aku menengok.
“Kau sudah besar, Key.” Aku hanya terdiam sambil terus melihat papa. Papa lalu melihatku.
“Papa takut, Rey ada di dekatmu dan ternyata kau jatuh cinta kepadanya.” Aku tersedak. Sesaat terpikir Rick di otakku. Aku langsung menggeleng. Papa menghembuskan nafas dengan keras.
“Bagaimana? Bagaimana kalau seperti itu?”
“Pa, Rey kan harusnya mirip denganku, tidak mungkin itu terjadi.” Aku berusaha menenangkannya.
“Kita tidak tahu, kan?” Papa mengangkat bahu.
“Key, berjanjilah satu hal. Kau tidak akan jatuh cinta kepada saudara kandungmu sendiri.” Ucapan papa terdengar menggema di telingaku. Aku lalu tertawa hambar.
“Aku tahu, pa. Aku tidak akan mengecewakan papa.”
Aku tidak percaya ini. Aku benar-benar tidak mempercayai mataku. Di hadapanku ada Rick dan teman-temannya. Mereka akan berenang, dan Rick sudah memakai pakaian renang. Ada noda di bagian perutnya. Ada noda. Aku menutup mulutku dan berlari menjauh dari mereka. Aku tidak memperdulikan apa-apa lagi. Kata-kata papa terdengar jelas.
“Kau tidak akan jatuh cinta kepada saudara kandungmu sendiri.”
Tidak mungkin! Pasti hanya kebetulan!
“Pa”, aku menemui papa malam itu. Papa yang sedang baca koran mengangkat wajahnya.
“Berapa tanggal lahir Rey?” Raut wajah papa berubah.
“1 September, ada apa Key?” Aku menggigit bibirku dan segera saja mataku berkaca-kaca. Itu tanggal lahir Rick, itu tanggal lahir Rick! Papa yang melihat aku hampir menangis, langsung bangkit dari sofa dan memegang bahuku.
“Ada apa? Kau menemukan Rey?”
“Aku belum yakin, nanti aku beritahu papa.” Aku berjalan cepat ke kamar dan menutup pintu kamarku.
“Ha? Kenapa?” Rick kelihatan serius memainkan game di handphone-nya.
“Kau.. Kau ada tanda lahir di perut?” Rick menoleh sekilas padaku, lalu fokus ke handphone-nya dan mematikan gamenya.
“Iya, ada apa?” tanyanya sambil memasukkan handphone ke saku celananya.
“Kenapa aku baru tahu?”
“Ha?”
“Kenapa aku baru tahu kalau kau punya tanda lahir?”
“Maksudmu apa, Key? Ini bukan hal penting menurutku. Aku juga ga tau tanda ini darimana, yang pasti ibuku bilang sudah dari sananya.” Lalu Rick terhenti sejenak, “Kau tahu kan, ibuku? Dia bukan ibu kandungku, kau tahu kan? Jangan bilang aku belum memberitahumu hal ini.” Rick memang sudah memberitahu bahwa ibunya bukan ibu kandung, tapi dia belum cerita darimana dia bertemu dengan ibunya itu.
“Ceritakan, Rick. Darimana kau bertemu ibumu itu.” Pandanganku kosong, menatap ke lantai. Rick kelihatan bingung.
“Ceritakan Rick, buat aku jadi membencimu. Karena sepertinya aku sudah jatuh cinta kepadamu.”
Malam itu mama datang. Mama semakin kurus, dan wajahnya keliatan lelah sekali. Aku menangis di pelukannya begitu mama pulang.
“Ma, cukup ma!” Aku menjerit di pelukannya. Papa dan mama langsung terlihat bingung. AKu melepaskan pelukanku.
“Aku tahu Rey dimana! Aku dan Rey ternyata selama ini berteman! Kami bersahabat dan aku.. aku jatuh cinta padanya! Dia ditemukan di belakang rumah kita saat kebakaran! Wajahnya setengah hangus dan tetangga kita menemukan dia! Wajahnya di operasi pelastik dan karena tetangga kita tidak bisa menemukan alamat baru kita, akhirnya dia yang merawat Rey! Dia tidak tahu nama Rey siapa makanya dia memberi nama Rick!” Aku langsung menangis kejar. Mama dan papaku hanya menatapku dengan pandangan kosong.
“Aku jatuh cinta padanya ma, pa.. Aku mencintainya..”

Cerpen Karangan: Keyla Charissa
Perkenalkan namaku Raisa Amanda Larasati, panggil saja aku Raisa. Aku baru saja menginjak usia 17 tahun, sekarang aku menempati bangku SMA. Saat pertama masuk SMA aku langsung mempunyai teman, mereka adalah Kania, Vhani, Elena, Alex dan Raihan. Kita selalu main bareng, kadang saat pulang sekolah kita sering sekali main di rumah salah satu di antara kita. Hal itu sangat menyenangkan bagiku, karena aku memiliki teman seperti mereka yang asik dan seru.
Dulu kita sekelas saat kelas 10, tapi saat kenaikan kelas kita berbeda kelas, ada yang masuk kelas IPA dan ada juga yang masuk IPS. Tapi hal itu gak ngejadiin kita pisah pertemanan hehehe, justru itu malah ngejadiin pertemanan kita semakin erat, karena kita jadi semakin sering bertukar cerita dan pengalaman yang kita lakuin di jurusan masing-masing. Hal itu sangat menyenangkan bagi kita, karena dengan hal itu kita jadi tau apa yang tadinya kita ga tau. Hampir setiap hari kita lakuin itu, kita gak pernah bosan ngelakuin hal itu. Amat sangat menyenangkan… Sampai suatu ketika hal yang pernah aku takutkan terjadi, yaitu ‘jatuh cinta kepada teman sendiri’. Aku merasakan perasaan yang berbeda akhir-akhir ini saat sedang bersama raihan. Aku merasakan perasaan yang tidak sama seperti biasanya.
Awalnya aku hanya mengangap itu cuma perasaan sayang terhadap teman, tapi lama kelamaan aku semakin merasa bahwa itu lebih dari perasaan sekedar teman. Aku selalu terbayang-bayang sama semua hal yang berhubungan tentang dia, aku sendiri gak ngerti kenapa hal itu bisa terjadi. Aku sangat tidak menyangka, apa boleh buat perasaan ini sudah muncul. Perasaan ini bukan aku yang menginginkannya, perasaan ini muncul dengan sendirinya… Tapi aku takut, aku takut pertemanan kita jadi tidak menyenangkan jika dia mengetahui tentang perasaanku. Aku hanya tidak ingin hal itu terjadi antara aku dengannya.
Cinta memang selalu datang dengan tiba-tiba, tidak ada yang bisa menebak kapan cinta itu datang dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Perasaan itu tidak pernah bisa dibohongi. Sama seperti perasaanku, aku tidak bisa terus membohongi perasaanku sendiri, perasaan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Tapi apa dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Aku tidak ingin jatuh cinta kepada orang yang salah! Tapi dia begitu baik kepadaku, aku ga mau salah mengartikan kebaikannya. Mungkin saja dia baik hanya karena aku temannya. Aku berusaha mencoba menghilangkan perasaan ku padanya, tapi kenapa tidak pernah bisa?! Semakin hari malah semakin bertambah rasa sayang ku padanya. Tapi tidak ada seorang pun yang tau bahwa selama ini aku mencintai raihan. Termasuk kania, vhani, dan Elena.. Mereka tidak mengetahui tentang perasaanku pada raihan.
Sebenernya sih nggak enak mendem perasaan kaya gini, tapi aku bingung harus ngelakuin apa. Aku gak mau pertemanan kita jadi ancur cuma gara-gara aku jatuh cinta sama dia.. Sekarang kita masih tetep main bareng, jalan bareng dan ngelakuin hal yang biasanya kita lakuin bareng-bareng. Seneng rasanya kalau lagi sama mereka, mereka juga salah satu penyemangat belajarku. Aku takut kalau harus kehilangan mereka, mereka sudah kaya saudara sendiri bagiku. Aku gak mau kehilangan mereka, tapi bagaimana dengan perasaanku? Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai juga, tapi aku juga gak mau kehilangan teman-teman ku. Raihan sangat baik, dia sangat jauh berbeda sifatnya dengan cowo-cowo lainnya. Kenapa aku menyayanginya lebih dari seorang teman? Perasaan yang selama ini aku khawatirkan. Tapi apa mungkin aku dan dia bersatu dalam ikatan ‘pacar’? Apa dia juga mempunyai perasaan yang sama kepadaku? Gak ada satu orang pun yang tau jawaban dari pertanyaan itu. Tapi raihan selalu bilang kalau di dunia ini gak ada yang gak mungkin, semuanya pasti bakal terjadi kalau kita mau berusaha dan berdoa dan kalo kita yakin kita bisa, itu semua akan terwujud. Cuma waktu yang bisa ngejawab semuanya..
Aku hanya bisa berharap, berdoa, dan berusaha. Sampai kapan aku harus memendam perasaan ini Tuhan.. Aku hanya ingin dia tau tanpa merusak pertemanan kami. Sampai kapan aku harus menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang aku buat? Kapan aku akan mendapatkan jawabannya? Rasanya lelah terus-menerus menunggu..

Cerpen Karangan: Thania Putri. I
Wajahmu selalu menghantui malam-malam ku. aku ingin kau ada dalam kesepianku dan keputusasaan ku.. aku akan menantimu hingga kaki-kaki ini tak lagi mampu berjalan, seandainya cintamu memang untukku aku akan menjadi putri bidadari terindah dan terbahagia di bumi ku yang indah ini.
Pagi kembali hadir disini, matahari dan bulan telah berganti tugasnya..
KRING KRING KRING!
suara alarm ini, membangunkan gadis yang sedang terlelap dan bermimpi indah ini dari tidur nya..
“Hooammz” Mata gadis ini terbuka dan mencoba mematikan bunyi alarm itu, gadis ini bernama Windy, Ia bersekolah di SMP Tunas Bangsa, Dia sudah kelas sembilan
Windy bergerak dari tepat tidurnya dan menuju ke kamar mandi, setelah selesai mandi ia lekas memakai baju seragam SMP nya, dan turun ke ruang makan bersama keluarganya
“morning worlds” Gumam windy setelah menuruni anak tangga
“ma, windy berangkat sekolah dulu iya,” lanjutnya setelah berlari dari ruang makan
“kamu gak makan dulu?”
“ntar aja ma” ucap windy dan berlalu
Seperti biasa windy berangkat bersama Dimas Teman sekelasnya dan juga Orang yang sangat spesial bagi nya,
“Tumben gak telat dim?” Tanya windy saat mereka telah berlalu menaiki motornya dimas.
“ya dong, biasa lah orang kasmaran, gue mau jumpa sama princess gue” Ucap dimas santai
DEG hati windy seakan Terpotong oleh pisau yang sangat tajam, rasanya begitu sakit.. dengan mata yang berkaca-kaca windy bertanya kepada dimas.
“Siapa dim?” Pertanyaan basi tapi windy sangat ingin tau jawaban itu
“Sisy temen kita juga, hihi gue sama dia udah jadian” Jawab dimas bahagia
“Loh? mata lo kenapa win? Lo nangis” tanya dimas saat melihat windy dari kaca spion nya
“ohh enggak, itu emm gue kelilipan” Ucap windy terbata-bata dan dia berbohong
Dimas hanya meng’iyakan’ perkataan windy dan terus melaju
Sesampainya di sekolah windy langsung turun dan berlalu begitu saja dari motornya dimas tanpa mengatakan ‘terima kasih’.
“windy kenapa sih? gak ada bilang makasih lagi” Batin dimas
Windy terus berjalan melewati koridor-koridor sekolahnya dan melewati teman-teman nya yang dia kenal. dan tiba-tiba ada yang memanggil namanya
“Windy..!” Panggil seseorang dan sepertinya itu suara cewek, saat windy menoleh ternyata itu adalah Sisy
“Apa?” sahut windy ketus
“galak banget wak, eh dimas mana?” tanya sisy dan tersenyum
“Emang gue emaknya, ha? lo tanya tuh ama emaknya! bukan gue! sint*ng lo” Bentak windy tak suka (ya bisa dibilang dia emosi sama tuh cewek)
“lo kenapa sih? gue nanya baik-baik juga. kan biasanya dia bareng lo” ucap sisy heran dengan sikap nya si windy
“Terus? sono lo cari noh di WC umum! kan mirip mukanya sama lo!” Sekali lagi suara windy meninggi, kini semua mata murid yang berada disana tertuju pada mereka, dan windy tak menghiraukan itu. windy berlalu ke kelas setelah melihat sosok dimas yang mulai datang ke arah itu.
“Sisy? kamu gak papa kan?” Tanya dimas khawatir
“eh, gak papa dim. windy kenapa sih dim, dia bentak-bentak aku gak jelas gitu. kayaknya dia cemburu deh aku jadian sama kamu.” perotes sisy
“ha? ga mungkin kali, dia sahabat gue”
Dikelas windy langsung duduk di bangkunya dan menopang kepalanya dengan tangan nya. windy menutup matanya, dia Menangis. menangis karrna dimas yang tak pernah mengetaui tentang hati dan perasaan nya
‘gue sakit dim, lo ga pernah tau hati gue. gue sayang sama lo dari yang elo tau dan itu lebih dari sekedar persahabatan’ batin windy
Kelas telah ramai dan ribut itu sangat mengganggu windy untuk menangis, perlahan mata windy melihat sekitar dia mencari sosok yang sangat dia sayangi itu. di pojok ujung kedua mata windy telah melihat sosok dimas tapi dimas sedang bersama pacarnya itu. kembali hati kecil windy menangis, dia sungguh tidak tahan melihat adegan itu.
“dimas, lo gak tau ada hati yang selalu dan terus sayang sama lo, dia gue dim, dia ada disini. bukan disana” gumam windy di meja nya
Terasa tiada lagi kehidupan untuk ku, saat kau tak berada di dekat ku. Melainkan bersamanya, hanya sunyi dan sepi yang mengisi hati ku di keramaian dunia ini. kau hanya ada di angan ku saja.
Aku terlalu lelah mengeja hari-hariku tanpa sandaran cinta dari mu. hanya sepi yang tersisa, Rasa ini tak akan mau pergi. meskipun ku tau kau telah bersamanya.
Keesokan harinya windy duduk sendiri di kantin sekolah, yah dia tak mau lagi berhubungan dengan dimas, walaupun hatinya sangat menginginkan dimas
“hei, melamun aja lo?” ucap seorang dari belakang windy, tak lain dan tak bukan adalah dimas.
“apa sih? pergi. gue suntuk liat muka lo!” Jawab windy acuh
“Gue salah apa sih win? ya kalo gue ada salah maapin dong, gue gak bisa terus-terusan lo diemin kayak gini!” cerocos dimas di hapadan windy
“win win, lo tau ga. semalem gue ngedate ama sisy. beh gue bahagia win” lanjut dimas
Butiran air mata telah berlinang deras di mata windy. dia menangis lagi dan lagi
“Longlast ya,” ucap windy masih di iringi dengan tangisan
“lo nangis?”
“engga kok, gue haru aja”
“oh makasihh ya” ucap dimas sembari memeluk erat windy
“udah, gue mau balik”
Aku telah terbiasa menangis karenamu, tapi tetap saja aku tak pernah lelah untuk mencintai dirimu. rasa yang kupendam ini akan kubawa sampai aku berada di alam kubur nanti, sampai aku tak berada di atas bumi ini, sampai aku tak bisa melihatmu, dan sapai aku tak bisa melihat matahari.
8 Tahun Kemudian
Windy telah menjadi penulis terkenal di Indonesia..
Ting Tong’
Suara bel dari kediaman windy berbunyi, windy berjalan ke arah pintu, dia membuka pintu itu dan ternyata itu Dimas. windy masih menyimpan rasa itu sampai saat ini.
“gue mau tunangan sama sisy, dateng ya. makasih ya atas semua perhatian lo ke gue.” ucap dimas sembari memberikan kertas biru itu dan berlalu..
Hati windy seakan terasa MATI..
To : Dimas
Maaf banget ya di, aku gak bisa dateng. aku niat mau ke New York tinggal disana so jauh dari indonesia dan jauh dari kamu. aku gak sanggup lagi natap mata kamu, dari dulu aku sayang banget sama kamu. tapi kamu gak tau itu! sakit banget jadi aku dim. jadi aku kalah
Aku kalah.. bahkan jauh sebelum aku angkat senjata, kamu ada di hidupku tapi bukan untuk ku miliki, mungkin memang begini lah takdir rasa ku, cintaku padamu tak akan melambung ke langit ke tujuh.. aku hanya akan membiarkan buih-buih kesedihan ku menyeru bersama ombak-ombak laut itu..
~ Windy

 - The End -

Cerpen Karangan: Tiffany Wagner Panjaitan
Awalnya jantung ini masih berdetak normal seperti biasanya saat pertama kali melihatmu. Namun tiba-tiba saja saat pertama kalinya kamu berbicara padaku, rasanya jantung ini siap-siap lepas dari tempatnya. Aku takkan pernah lupa tanggal 17 July 2013 dimana hari itu hari pertama kali kita bertemu, pertama kalinya kamu berbicara dan menatap mataku, dan pertama kalinya kita pulang bareng. Hari itulah memulai segalanya. Memulai diri ini menyukaimu.
23 Agustus 2013
“Shillaaa!!!” teriak seseorang memanggilku. Aku menoleh mencari sumber suara itu. ah ternyata Yusuf sahabatku. Aku melambaikan tanganku padanya. Aku masih berdiri di depan kelasku menunggu Yusuf yang akan menghampiri.
“haiii apa kabar sup?” tanyaku.
“baik-baik, kamu gimana? Ya ampun udah lama ga ketemu hahaha” jawab Yusuf
“yaaa not bad. Iya ih sibuk sih kamunya” kata ku sambil memukul pelan tangannya.
“aww gila!! Bukannya kamu yang sibuk ya sama pacar baru?” tanya Yusuf. Ah iya seminggu setelah pertemuan aku dengan si ‘Dia’ aku memang berpacaran dengan teman sekelasku. Padahal awalnya aku masih berharap agar aku bisa kenal dekat dengan si ‘Dia’ namun nyatanya? Tak seperti yang diharapkan.
“hahaha i forgot to tell you. We break up yesterday” jawabku sambil tersenyum
“whoaaa? Really? Why?” tanya Yusuf. Sebelum aku menjawab, tiba-tiba saja…
“sup! Padus kan?” seorang laki-laki berkacamata menepuk pelan bahu Yusuf dari belakang, dan si laki-laki itu ternyata… si ‘Dia’ pujaan hatiku yang dulu. Ah sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya, dan dia makin tampan saja membuat jantung ini kembali berdetak kencang dan siap lepas dari tempatnya. Ada apa denganku?
“iya Vin. Ayooo kita paduan suara” jawab Yusuf. Dia menatapku dan tersenyum. Demi Tuhan!! Ia tersenyum padaku, Oh God…
Aku pun membalas senyumnya dan aku menyapanya, “hai Vin” kataku
“hai” jawabnya. ‘deg deg deg deg’ Tuhan tolong jangan biarkan jantung ini terbang
“lo ikut paduan suara sup? Yakin gak bakal rusak tuh speaker? wkwkwk” canda ku kepada Yusuf.
“ya enggak lah lo belum tau aja suara gue gimana” jawab Yusuf. Aku hanya tertawa. Dia menatapku, “kamu ikut paduan suara juga?” tanyanya
“haha engga vin, suara aku gak bagus hehehe” jawabku masing dengan jantung yang siap terbang
“hahaha gapapa kali ikut paduan suara aja yuk” katanya sambil memegang punggungku ya seperti merangkul. Tau kah? Saat itu jantung ku benar-benar terbang.
“ah engga ah hahahhaa” jawab ku agak salting. Dia hanya tersenyum
“ya udah dadah Shilla kita mau ke kelas atas dah” kata Yusuf sambil berlalu. Dan dia lagi-lagi tersenyum. Demi apa pun aku mulai jatuh cinta kepadanya lagi, mungkin?
Aku menatap langit malam di teras rumahku. Bintang-bertaburan di langit. Sambil mendengarkan lagu dari Ipad ku, aku mengingat-mengingat kejadian tadi sore. Mengingat tentang dia. Ah ya aku lupa menyebutkan namanya. Namanya Alvin anak kelas sebelahku. Aku bertanya-tanya apa iya jika aku mulai jatuh cinta kepadanya lagi? Unbelieveble. aku pun mengirim sms kepada Yusuf tentang hal ini.
To: Yusuf
Masa aku suka lagi sama Alvin?
Tak lama kemudian satu sms masuk ke handphoneku.
From: Yusuf
Besok aku berangkat bareng kamu, sama dia juga. Aku kirimin no dia ya. Kamu sms dia oke, kalian janjian dimana gitu kan rumah kalian ga begitu jauh. Gak usah banyak omong buruan sms dia.
Sedikit kaget saat Yusuf membalas sms ku seperti itu. tapi apa yang harus aku lakukan? Aku juga senang jika besok aku bisa berangkat bareng dengannya.
Aku memegang layar Hpku. Melihat sederet angka nomor Hp. Agak ragu untuk mengirim sms padanya. Namun akhirnya…
To: Alvin
Alvin, ini shilla. Besok kamu bareng sama yusup kan? Aku bareng yusup juga. Bareng ya
Keringat dingin membasahi tanganku saat sms itu telah terkirim. Memang lebay namun memang kenyataannya begini. Tak lama kemudian sebuah sms masuk…
From: Alvin
Ohehe, oke Shilla. Besok kamu tunggu di deket jalan yang banyak angkot ya. Nanti aku sms kamu kalau aku udah berangkat?
DIA MEMBALAS!! PAKE EMOT SENYUM!! Ahhh aku tersenyum senyum sendiri membacanya. Ah can’t wait tomorrow!!!
Kini aku berdiri di trotoar menunggu Alvin. Dari tadi jantung ini terus berdetak dengan kencangnya. Aku tak tau bagaimana jika bertemunya, di angkot berdua sampai tempat Yusuf menunggu kami. Tak bisa kubayangkan. Aku takut. Aku takut mentapa matanya. Karena aku tau, aku akan salah tingkah dan jantungku pasti terbang jika aku dan dia saling bertatap. Aku memperhatikan setiap angkot berwarna kuning yang melintas, siapa tau itu angkot yang ia tumpangi. Akhirnya dari beberapa angkot yang melintas aku melihatnya di dalam angkot. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum kepadaku. Dia tersenyum (lagi) ia berhasil membuatku terbang, bukan jantungku lagi yang terbang tapi diriku juga ikut terbang. Aku segera menaiki angkot yang ia tumpangi. Aku duduk di hadapannya.
“maaf nunggu kamu lama, angkotnya tadi ngetemnya lama” kata Alvin
“gapapa Vin woles aja.” Jawabku, aku mencoba untuk menahan rasa gembira aku. Aku harus bisa menahannya. Jika tidak, berabe dah urusannya.
Sudah dua bulan ini, aku makin dekat dengan Alvin setiap hari kami berangkat dan pulang bareng. Bareng Yusuf juga sih, aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada Yusuf. Tak ada yang bisa membantu ku untuk menahan gembiraku. Dan sudah dua bulan ini, aku masih menyukainya. Masih memendam perasaan ini. Aku tak berani mengungkapkan perasaan ini padanya. Takkan pernah berani.
Pada tanggal 27 Agustus kemarin adalah hari terbaik yang pernah ada. Alvin mengajariku pelajaran matematika. Bukannya aku modus, tapi aku benar-benar tidak mengerti tentang materinya. Di angkot ia mengajariku dengan baik nya. Kami duduk berhadapan seperti biasanya. Jarak kami memang dekat. Jantungku mungkin sudah terbang saat ia mengajariku. Karena asik dengan matematika, kami sampai melupakan Yusuf. Hahaha kasihan sekali Yusuf sebenarnya. Namun aku juga masih ingin diajari matematika dengan Alvin. Haha agak modus sih, tapi kalau tidak begini, kapan lagi?
Akhirnya aku menyadari satu hal. Aku mulai menyayanginya. Dia yang tampan, baik, jenius, pintar, lucu, dan dia yang terkadang bertingkah seperti anak kecil. Entah sampai kapan aku memendam perasaan ini. Memendam rasa cemburu dan sakit saat ia sedang bersama cewek lain. Tapi, siapa dia? Pacar bukan. Untuk cemburu pun sebenarnya aku tak berhak. Mungkin aku akan tetap menyayanginya dengan seperti ini. Mungkin setiap hari nya aku akan terus jatuh cinta padanya. Ya, jatuh cinta diam-diam. Merasakan perasaan ini sendirian. Membiarkan perasaan ini tertuju padanya. Membiarkan namanya terukir indah di hati ini. Meskipun tanpa dia tau, bahwa ada aku yang menyukainya, menyayanginya sampai sedalam ini. Namun, aku takkan pernah membiarkan perasaan ini hilang, takkan pernah melupakan perasaan ini. Aku akan tetap membiarkan perasaan ini tertuju padanya. Hingga suatu saat nanti mungkin ia akan tau ada aku yang disini menunggunya dan menyayanginya.

The end

Cerpen Karangan: Syifa
“gue pesimis di”
“pesimis kenapa bel? jangan bilang gara-gara si randy anak basket itu” ucap diana sama gue
“hmm you know lah di.. gue udah bener-bener cape sama semua khayalan ini” ucap gue frustasi
“yah masa lo nyerah sih bel lo udah nunggu dia dari dua tahun yang lalu” balas diana gregetan
“percuma gue nunggu dia di, dia gak bakalan peka sama gue.. dia gak balakann tau kalo gue sayang sama dia gue nyerah” curhat gue sama diana
“yah masa gitu aja lo nyerah sih? semangat doong” balas dianna ngerangkul gue
Siapa sih yang gak nyerah gue sudah berusaha deketin dia dengan cara apapun, mulai dari yang normal sampai yang paling konyol tapi apa? dia cuma nanggepin gue datar seolah gue itu angin lalu di matanya dia
Jakarta 20 maret 2009
hari ini hari kenaikan kelas gue.. sekarang gue naik ke kelas 12 dan yang paling nyebelin itu kenapa gue harus sekelas sama randy dan gue dapat kabar katanya ada anak baru pindahan dari surabaya namanya doni and see sekarang gue sekelas sama dia tapi gue gak sekelas sama diana sahabat gue, itu yang bikin gue galau tapi yang bikin gue seneng anak barunya ganteng bro.
“hay kenalin nama gue doni”
“hay gue bela” gue kaget kenapa tiba-tiba dia ngenalin diri ke gue
“gue randy” serobot randy
“ihh apa-apaan sih lo ran” omel gue pada randy
“hay gue doni” balas si randy
Pelajaran pun di mulai pelajaran di mulai sama pelajarannya bu nila guru seni budaya…
Gak kerasa hubungan gue sama doni itu sekarang dekeeet banget lebih dari temen gitu hahahaha, tapi yang gue sebel si randy itu nyari masalah mulu.. dari yang sering jailin gue di koridor sekolah dan lain lain dah
“bel gue mau ngomong sama lo” ucap randy ke gue
“ngomong apaan ran?” bales gue
“gue suka sama lo”
“hah? suka? sama gue?” jawab gue kager
“iya gue suka sama lo”
“suka sejak kapan?”
“sejak lo deket sama doni, sejak lo jalan sama dia gue cemburu! gue sayang lo bell”
“gue juga sayang lo ran”

End

Cerpen Karangan: Nadya Syabella

Ibu

Bau khas tanah yang terkena hujan langsung menyapa ku saat aku keluar dari mobil, hujan rintik-rintik kecil cukup membasahi bajuku yang saat itu berwarna hitam hingga membuat lingkaran kecil bekas tetes-tetes hujan itu tak terlalu tampak. Akhirnya kami sampai di tempat tujuan kami. Hanya sedikit yang berubah saat aku melihat bangunan di depanku ini. Coretan-coretan yang ku tulis waktu aku masih kecil masih terdapat di salah satu sisi tembok bangunan rumah bercat hijau ini. Bahkan, kursi kayu yang kubuat bersama ayah dulu masih tertata rapi di beranda rumah bersama sebuah meja bundar kecil, tempat kami dulu biasa berkumpul. Hanya saja, banyak sekali daun-daun yang mati berguguran berserakan di lantai beranda ini dan debu-debu serta sarang laba-laba memenuhi sudut langit-langit atas.
“Brakkk” terdengar suara sesuatu jatuh dari dalam rumah, aku langsung membuka pintu dan ternyata hanya seekor kucing dan tikus-tikus kecil yang berkeliaran di dalam rumah. Sungguh berubah keadaan rumah saat ini dan 6 tahun yang lalu saat aku tinggalkan, kini rumah ini bak sebuah kapal pecah yang baru saja menghantam sebuah karang besar, disana-sini barang-barang berserakan, patah-mematah, bahkan hancur dimakan rayap. Sayup-sayup terdengar suara istriku yang tengah mengobrol dengan seseorang di luar, buru-buru aku melirik dari balik jendela dan ternyata itu adalah mbah Hirjo tetanggaku dulu yang sampai sekarang masih tinggal di sebuah gubuk kecil di dekat rumah ini. Aku menelanjangi seluruh bilik di rumah ini, kalau-kalau masih ada benda yang yang utuh yang masih bisa disimpan. Lalu mataku tertuju pada sebuah kotak kecil di atas lemari tua berwarna coklat dengan ukiran-ukiran bunga di setiap sisinya. Aneh mengapa sebelumya aku tak pernah menemukan kotak ini. Langsung saja tanpa berpikir panjang aku membuka kotak kecil itu, kutemukan sebuah foto yang mengingatkan ku dengan semua masa laluku.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1990an, saat itu aku berumur sembilan belas tahun, umur yang menurutku sudah cukup untuk menjadikanku tulang punggung bagi keluargaku dan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku karena ayahku telah meninggal dan aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku. Sore itu aku berencana untuk mencari ubi di kebun yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahku. Aku mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, ketika itu adik perempuanku memaksaku untuk mengajaknya
“kak aku ikut yah!” katanya sambil terengah-engah berlari
“tidak usah, kau tinggal saja disini. Disana akan berbahaya nanti kau bisa tertusuk ranting-ranting tajam”
“ayolah kak, satu kali saja” katanya memelas
“jangan, nanti jika kau ikut siapa yang akan menjaga ibu? kasihan ibu, kau tahu sendiri kan ibu sedang sakit?”
Akhirnya dia pun mengalah dan tetap tinggal di rumah sementara aku pergi untuk mencari ubi untuk makan malam kami nanti. Aku memilih jalan di sebelah barat rumah kami karena jika lewat jalan itu aku bisa sampai lebih cepat namun resikonya lebih besar karena aku harus melewati jurang-jurang dengan lantai yang licin, terlebih pada saat itu hujan baru saja meyerbu desa kecil kami. Ditengah perjalanan aku mendengar seseorang menjerit dari bawah, ketika kulihat ternyata ada seorang laki-laki tua yang bergelantungan di tepi jurang, jari-jarinya hanya memegang sebuah akar pohon, tanpa berpikir panjang aku langsung memberikan tanganku, namun posisi kami terlampau jauh, alhasil tanganku tak sampai untuk menggapai tangan laki-laki itu. Tak menyerah aku melepaskan bajuku dan meberikannya kepada laki-laki itu, maksud hati agar tangan laki-laki itu bisa meraihnya. Dan ternyata usahaku tak sia-sia aku berhasil, aku langsung menarik laki-laki itu ke atas. Laki-laki itu sangat berterima kasih kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari maut, cuaca sedang sangat tidak bersahabat dan hujan pun kembali mengguyur desa kami, akhirnya kami berlari untuk menemukan tempat berteduh.
Kami berdiam sebentar di sebuah rumah tak berpenghuni, rumah ini sangat pengap dan hanya tedapat satu ruangan di dalamnya, di sudut ruangan tedapat barang-barang tua yang telah terbungkus debu juga sisa-sisa piring bekas makan dengan bau sisa makanan yang menyebar di seluruh ruangan dan membuat ruangan ini semakin pengap. Sembari menunggu hujan reda, kami mengobrol sedikit mengenai asal-usul kami. Ternyata laki-laki yang ku tolong tadi bernama Gunawan, dia adalah seorang pengusaha sukses dari Jakarta, dia sedang mencari rumah keluargannya disini namun sepertinya alamat yang dipegangnya itu salah dan membuat dia tersesat hingga ke desa ku.
Hujan telah reda dan kami memutuskan untuk pulang, aku menunjukkan jalan keluar dari desa kami kepada bapak Gunawan agar dia bisa pulang dengan selamat dan setelah itu dia memberikanku beberapa helai uang namun aku menolaknya, aku selalu ingat dengan pesan ibu untuk selalu berbuat ikhlas. Walaupun terus memaksa namun akhirnya laki-laki itu mengalah dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetya
“ada lowongan kerja di perusahaanku, jika kau membutuhkannya jangan sungkan-sungkan untuk datang”
Dengan senang hati aku menerima tawaran itu, entah apa yang berada di pikiranku namun meski pulang nanti aku tak membawa makanan sedikit pun tapi aku membawa kabar bahagia yang bisa membuat ibu di rumah senang. Tak bisa menunggu lama, aku berlari menuju rumahku, beberapa kali aku terjatuh hingga luka karena jalan yang licin. Namun itu tak menghentikan langkahku. Aku ingin secepatnya memberi tahu ibu tentang kabar gembira ini.
Rasa senang yang menggelegar di hati ini rasanya tak bisa ku pendam tatkala aku menginjakkan kaki di rumahku ini. Dan langsung saja ku hamburkan semua rasa gembira ini kepada ibu dan adikku di rumah. Mereka langsung memelukku dan mendukungku untuk pergi ke Jakarta untuk bekerja mencari uang.
Hari itu tiba, hari dimana aku pergi ke Jakarta memulai pekerjaan baruku dan meninggalkan ibu dan adikku di rumah. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan mereka berdua, namun apa daya, kelak jika nanti aku telah sukses aku akan membawa ibu dan adikku tinggal di Jakarta. Tinggal di istana megah yang selama ini telah kami impi-impikan.
Jarak kantor dan rumahku hanya sekitar 2 km saja, terkadang aku tak perlu melambaikan tanganku untuk memanggil taksi, cukup dengan berjalan kaki saja tak memakan waktu sampai 1 jam. Kadang-kadang aku pergi ke kantor bersama Gaby rekan kerjaku sekaligus sekretaris pribadinya Pak Gunawan yang tempat tinggalnya hanya berjarak dua blok dengan rumahku. Namun hari demi hari kami semakin dekat dan perasaan cinta itu mulai tumbuh di antara kami berdua. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk mengikat tali hubungan kami ke pelaminan yang sebelumnya telah direstui oleh kedua orang tua kami. Aku mencoba menelpon ibuku dan adikku untuk menyuruh mereka hadir di acara pernikahan kami, ibu setuju untuk datang, namun ibu menolak tawaranku untuk mengongkosinya kesini naik pesawat katannya biarlah mereka naik bus saja, takut nanti ibu mabuk di pesawat dan merepotkan saja.
Saat hari pernikahanku pada waktu itu, ibu duduk di kursi orang tua mempelai pria, bersama pamanku yang hadir sebagai perwakilan dari ayah, ibu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya hijau dan sanggul yang melingkar di rambutnya, namun perlahan aku sadar itu bukanlah ibu, itu adalah bibiku – istri dari pamanku -. Nyatanya sampai sekarang aku masih belum rela mendengar kabar bahwa ibu telah meninggal dunia dua bulan yang lalu sebelum pernikahanku karena sakit keras yang dideritanya, namun yang aku yakin, disana ibu telah bahagia terlebih melihat anaknya telah sukses dan menemukan cinta sejatinya.
Sayup-sayup kudengar istriku sedang mengobrol di luar bersama seorang perempuan, samar-samar kulihat wanita itu dari jauh, wajahnya bayang-bayang karena air mata yang masih menggumpal di mata ini, ternyata itu adalah bik Masni istrinya mbah Hirjo. Dari jauh kulihat dia tersenyum kepadaku dan aku pun membalas senyumannya.

Cerpen Karangan: Feranda Ayu Syafitri
“Ih… tan atu duluan” kata seorang anak kecil dengan tampang polosnya.
“Enda mau, itu aku duluan” jawab yang lainnya.
“Ima.. itu, atu duluan” katanya pada sahabatnya yang biasa di panggil Ima oleh dirinya.
“Aku ih..” jawab Ima.
Perkenalkan, anak kecil yang tidak bisa ngomong huruf “K” tadi, bernama Dicky Muhammad Prasetya atau di panggil Dicky. Dan, yang enggak bisa ngomong “G” atau yang dipanggil Ima itu bernama lengkap Bisma Karisma.
Saat ini, mereka berdua sedang berada di sebuah taman kanak-kanak. Wajah mereka begitu polos hingga gampang untuk dibohongi.
“Anak-anak, sudah dong, jangan pada bertengkar” lerai seorang guru taman kanak-kanak yang bernama Dina. Lebih tepatnya Pramudina Afra Narudana.
“Ibu, atu tan yang main robot-robotan duluan” kata Dicky.
“Endak bu, Dicky bohon” jawab Bisma.
“Sudah-sudah… biar lebih adil, ibu kasih satu robot lagi. Gimana? Mau enggak?” tanya Bu Dina sambil menunjuk sebuah mainan robot-robotan.
Bisma menganggukan kepalanya.
Lalu, Bu Dina memberikan mainan robot-robotan itu pada Bisma. Hey.. lihatlah! Sepertinya Dicky terlihat tidak senang. Mungkin, ia iri dengan Bisma yang diberi mainan robot-robotan oleh Bu Dina.
“Bu, atu mau itu” kata Dicky sambil menunjuk mainan robot yang sekarang sedang dipegang Bisma.
“Kan, kamu sudah dapat” jawab Bu Dina.
“Engga mau, atu maunya itu” rengek Dicky.
“Bisma, kamu kasih ya, mainannya ke Dicky!” suruh Bu Dina.
Namun, Bisma hanya menggelengkan kepalanya dan kembali melanjutkan aktifitasnya, bermain robot-robotan. Karena keinginannya tidak di penuhi, akhirnya Dicky menangis.
Guru taman kanak-kanak lainnya, menghampiri Bu Dina yang sepertinya kewalahan untuk menenangka Dicky.
“Ada apa ini, bu?” tanya seorang laki-laki dengan suara bass-nya. Sebut saja namanya Muhammad Reza Anugrah atau yang biasa di sapa oleh murid-murid taman kanak-kanak Pak Eja.
“Ini Pak, Dicky mau tuker mainannya ke Bisma. Sedangkan dia sudah punya robot-robotan” jawab Bu Dina. Pak Eja hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti.
Ia lalu menghampiri Dicky dan berjongkok agar tingginya sama dengan muridnya yang paling imut itu.
“Dicky mau robot-robotan?” tanya Pak Eja.
“Mau ..” jawab Dicky sambil menganggukan kepalanya.
“Ini robot-robotannya” kata Pak Eja sambil memberikan mainan robotan pada Dicky. Hust.. tahu tidak, sebenarnya, robot-robotan yang diberikan Pak Eja itu, mainannya Dicky sendiri lho. Hehe… dengan polos, Dicky menerimanya
“Matasih, pa” kata Dicky.
“Sama-sama. Sudah ya, kalian jangan bertengkar lagi? Kasihan tuh, Bu Dina kewalahan” kata Pak Eja.
“Dicky duluan tuh pak” kata Bisma menunjuk Dicky.
“Butan Dicky, tapi Ima duluan” kata Dicky.
“Sudah, kalian semua anak baik kok” jawab Bu Dina.
Setelah itu, Bisma dan Dicky kembali bermain robot-robotan yang mereka berdua miliki. Sementara Bu Dina dan Pak Eja, mereka tersenyum melihat Bisma dan Dicky yang telah akur.
“Bu, Ima mau tidur” kata Bisma sambil menguap.
“Dicky juga mau bobo bu” sambung Dicky.
“Ya sudah, ayo masuk ke kamar!” suruh Pak Eja.
Dicky dan Bisma hanya menganggukan kepalanya lalu berjalan menuju kamarnya. Mereka sih punya rumah dan masih memiliki orang tua. Namun, karena orang tuanya sibuk, jadi dititipkan deh ke sekolahnya. Biasa lah, orang tua Dicky dan Bisma itu kaya. Orang tuanya Dicky itu, adalah orang terkaya nomor lima di Indonesia. Sedangkan orang tua Bisma, adalah orang terkaya nomor sembilan di Indonesia dan nomor tiga puluh di Dunia. Waw… hebatnya.
Flash Back Off
“Haha… masa kecil kalian berdua lucu ya” ledek seorang perempuan yang mengenakan rok berwarna biru.
“Haha… iya dong. Bisma Karisma gitu lho” jawab Bisma dengan percaya diri.
“Dicky Muhammad Prasetya, orang terimut nomor satu di Indonesia dan di dunia ini” kata Dicky dengan percaya dirinya.
Ternyata, Bisma dan Dicky sekarang sudah besar lho, teman. Mereka berdua sudah duduk di kelas delapan atau di kelas dua Sekolah Menengah Pertama atau SMP.
Pasti, kalian pada bertanya kan, perempuan yang tadi berbicara dengan Bisma dan Dicky itu siapa? Dia itu namanya Clarynta Amanda atau Lala. Ia adalah sahabatnya Bisma dan Dicky.
“Eh.. kalian semua lagi ngapain sih? Sampai asyik begitu?” tanya seorang lelaki datang menghampiri Bisma, Dicky dan Lala.
“Ini, aku lagi dengerin ceritanya Bisma dan Dicky. Bisa di bilang, cerita masa kecilnya gitu, Ham” jawab Lala pada seseorang yang di panggil “Ham” itu. Nama lengkapnya Muhammad Ilham Fauzie Effendi.
“Emangnya, ceritanya gimana?” tanya Ilham penasaran.
“Jadi tuh, Bisma sama Dicky saat masih kecil rebutan mainan. Robot-robotan tuh. Haha” jawab Lala sambil tertawa.
“Diam dong, La” kata Bisma dan Dicky berbarengan.
“Enggak ah, aku mau cerita dari awal sampai terkahir ke Ilham” jawab Lala.
“Gimana sih, ceritanya La?” tanya Ilham.
“Jadi, ceritanya di sebuah taman kanak-kanak, Dicky lagi asyik main robot-robotan. Nah, tiba-tiba saja, Bisma datang menghampiri Dicky dan langsung ngambil mainan yang lagi di mainkan sama Dicky”
Belum selesai Lala bercerita, Bisma sudah menutup mulut Lala dengan tangannya sendiri.
“Emangnya beneran ya, Cky?” tanya Ilham.
“Bohong tuh, Ham. Kamu mau saja di bohongin sama Lala” jawab Dicky berbohong.
“Oh, ya sudah yuk, kita masuk ke dalam kelas! Sebentar lagi masuk lho” ajak Ilham sambil berjalan meninggalkan Bisma, Dicky dan Lala.
Lala langsung menyusul Ilham. Bisma dan Dicky bernapas lega karena Lala tidak selesai menceritakan semuanya kepada Ilham.
“Huft… untung saja, Lala tidak jadi menceritakannya kepada Ilham ya, Cky?” kata Bisma.
“Iya Bis, untung saja ya” jawab Dicky.
“Ya sudah yuk, kita masuk ke dalam kelas!” ajak Bisma.
Dicky pun mengangguki kepalanya dan berjalan mengikuti Bisma hingga masuk ke dalam kelas dan berjalan sesuai mata pelajaran hari ini hingga bel pulang berbunyi.
Sepertinya, Ilham penasaran tuh sama cerita masa kecilnya Bisma dan Dicky. Haha… yang sabar ya, Ham, pasti kamu nanti tahu kok apa ceritanya. Kan kalau kita merahasiakan sesuatu, pasti rahasia itu akan terbongkar juga kan? Kamu tinggal tunggu waktu saja deh, pasti nanti tahu, apa cerita masa kecilnya mereka berdua.
 
THE END

Cerpen Karangan: Zahrah Alifia Ghaida Anrose