Di antara dedaunan yang satu per satu mulai gugur menghiasi sajadah
panjang kehidupan, biarlah semua nestapa dan duka runtuh bersama daun
terakhir yang jatuh kala penghujung musim gugur tiba, membiarkannya
jatuh bergelut abu lalu terinjak oleh kaki-kaki yang sengaja dipijakkan
ke bumi, menjadikannya miniatur kehidupan yang hanya bergantung pada
usia dan waktu. Terkadang berteriak penuh kuasa, lalu menangis
kemiskinan dengan rintihan tanpa suara, dan terkadang menepuk-nepuk dada
bangga lalu cemas dan berharap tanpa ada daya, semuanya terjadi begitu
saja sealur dan sejalan dengan takdir Tuhan yang telah tertitahkan lewat
setiap denyut nadi nafas kehidupan.
Pada secarik nafas kehidupan, lelaki parobaya itu berdiri di tengah
kebimbangan yang sangat. Mereka-reka kembali memoar nestapa yang tanpa
henti lalu-lalang dalam kehidupannya. Tanpa henti ia panjatkan doa agar
diberi ketabahan atas semua cobaan yang ia derita.
Kiai Syamsul, begitulah lelaki parobaya itu biasa dipanggil. Seorang
lelaki yang lebih dari cukup dalam harta untuk membiayai seorang isteri
dan empat anak yang ia tanggung, juga seorang lelaki parobaya yang juga
dikenal sebagai tokoh masyarakat yang sangat berpegang teguh dan tidak
bergeming sedetik pun dalam memegang teguh agama Islam, juga seorang
muballigh kondang yang tenar berkat ceramah-ceramahnya yang sarat dengan
kontroversi.
Namun, kini ia tertunduk lesu di ruang tunggu pasien salah satu rumah
sakit terkemuka dengan perasaan cemas dan harap. Menutupi wajah yang
penuh bimbang dengan kedua tangan sembari bermunajat di antara dinginnya
angin malam, juga gemerisik guyuran hujan yang sedari tadi terus
menerus Tuhan hujamkan ke bumi. Ia bermunajat demi kesembuhan puteri
bungsunya dengan doa yang tak bisa terjamah oleh rangkaian kata-kata
abstrak.
Adalah Safitri, satu-satunya wanita di antara tiga saudaranya yang
lain, Syafiq, Salman, Taufiqurrahman. Selain itu, Safitri juga merupakan
satu-satunya keluarga kiai Syamsul yang mengidap penyakit liver, hingga
tak jarang puteri bungsu kiai Syamsul itu dirujuk ke Puskesmas di desa,
bahkan terkadang ke rumah sakit terkemuka di kota. Tak
tanggung-tanggung demi kesembuhan puterinya, kiai Syamsul mempertaruhkan
seluruh harta keluarga tanpa tersisa, semua ia pertaruhkan demi
kesembuhan puteri bungsunya.
Sebagai seorang tokoh masyarakat, kiai Syamsul sangat berpegang teguh
pada agama Islam yang selama ini ia anut dengan tanpa ragu sedikit pun
pada apa yang telah menjadi keyakinannya. Tapi kini, setelah ia ditimpa
musibah dengan puteri bungsunya yang selalu dirujuk ke rumah sakit yang
tentunya dengan biaya yang tak murah, ia mulai ragu antara percaya dan
tidak pada budaya pandawa. Salah satu dari sekian banyak budaya di
Madura berupa upacara sakral yang bertujuan untuk mengusir kesialan dari
salah satu saudara kandung yang ganjil, baik dalam segi jumlah maupun
jenis kelamin, sebab akan menghabiskan harta keluarganya dengan cara apa
pun, seperti halnya Batara kala dalam historis Pandawa.
Masih jelas terlintas dalam ingatan kiai Syamsul seperti halnya
putaran video yang setiap saat bisa ia putar. Ketika ia berceramah pada
seluruh penduduk desa tentang kebanyakan budaya Madura yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Tanpa henti kiai Syamsul menghimbau kepada seluruh
penduduk desa untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan budaya yang
bertentangan dengan agama Islam, misalkan pelet kandung, rokat tase’ dan
pandhawa.
“Bapak… Ibu…, semua orang pasti mengalami cobaan, tantangan, musibah,
bahkan mati. Hal itu merupakan sunnatullah yang mutlak terjadi dalam
dinamika kehidupan kita ini. Allah tidak memandang orang yang akan
diberi cobaan itu anak tunggal, saudara ganjil atau yang lainnya, hanya
saja kadar cobaan tersebut yang berbeda, tetapi pastilah ujian yang
diberikan Allah tidak akan lebih dari batas kemampuan manusia. Maka
sekali lagi ujian datang kepada manusia semata-mata bukan memandang
jenis kelamin atau posisi di antara saudaranya yang lain, tetapi ketika
sampai saatnya Allah memberikan cobaan pada orang yang memang Ia
kehendaki, maka cobaan yang berupa sakit jalan keluarnya tentu dengan
obat bukan dengan sesembahan-sesembahan sesajen yang sarat akan
kekufuran. Dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 48 Allah berfirman inna
Allaha la yaghfiru an yusyroka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman
yasya’, waman yusyrik billahi faqad iftaro itsman ‘adhima, yang artinya
“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik tetapi Allah mengampuni dosa
selain syirik bagi siapa saja yang dikehendakinya, dan barang siapa yang
mempersekutukan Allah/syirik pada Allah, maka sunggu ia telah berbuat
dosa besar. Maka dari itu Bapak-Ibu sekalian, marilah kita bersama-sama
bertaqwa pada Allah dan janganlah lagi kita percaya pada hal-hal yang
dapat memusyrikkan Allah.”
Begitulah segelintir ceramah kiai Syamsul yang mengkritik habis-habisan
tentang Pandawa, namun, setelah semua cobaan ini terjadi padanya ia
mulai ragu akan kesugestian Pandawa.
Berawal dari putri bungsunya yang saat itu masih nyantri di salah
satu pondok pesantren di kota, selalu mengeluh sebab penyakit yang saat
itu dideritanya. Meski telah beberapa kali dirujuk ke rumah sakit,
penyakit itu tetap saja kambuh menggerogoti jiwa putrinya yang kian
layu. Hingga di siang itu, ketika kediaman kiai Syamsul gaduh sebab
putrinya yang tiba-tiba mengerang kesakitan sebab penyakit liver yang
dideritanya kambuh dengan kesakitan yang sangat.
—
Kiai Syamsul tertuduk lesu, merenungi sketsa cobaan yang Tuhan
takdirkan untuknya, seperti halnya guyuran hujan yang sejak sore tadi
menghiasi angkasa. Dengan tubuh lunglai, ia duduk tak berdaya di ruang
tunggu pasien dengan penuh tanda tanya yang selalu terlintas dalam
benaknya. Sejenak ia tengadahkan wajah untuk sekedar melihat wajah
isteri dan ketiga anaknya yang juga mencerminkan hal yang sama, cemas
dan harap.
“Bagaimana ini, Pak? Sudah sekian kali Safitri masuk rumah sakit, tapi
sampai sekarang tetap tak menuai hasil,” Nyai Mahmudah, istri Kiai
Syamsul bertanya dengan penuh kebingungan.
“Bapak juga tidak tau, Bu. Semua harta kita telah terkuras habis demi
kesembuhannya yang tak kunjung menuai hasil,” kiai Syamsul menjawab.
“Mungkin kita harus melakukan Pandawa Pak, agar semua ini cepat berakhir,” kata Syafiq
“Betul pak…” ucap Salman dan Taufiq. “Lagi pula masyarakat menyayangkan
sikap kita karena tidak melaksanakan Pandawa, mereka kasihan pada
Safitri, Pak,” Taufiq menambahkan.
“Diam kamu semua! Pandawa itu syirik, karena meminta kesembuhan pada
selain Allah,” ucap kiai Syamsul dengan raut muka merah padam,
menandakan amarah yang sangat.
“Sudah Pak, sudah,” isterinya menenangkan.
Kiai Syamsul terdiam sejenak, dalam batinnya terpatri tanya tak
terjawabkan. Ia lalu tundukkan kepala, mengenang kembali empat bulan
lalu, saat tetangganya, Marni, melakukan ritual Pandawa bagi salah satu
anaknya yang ganjil karena sangat nakal dan selalu menghambur-hamburkan
harta keluarganya. Dalam prosesi itu sesaji yang harus disediakan antara
lain dua puluh tujuh macam ketupat, kue serabi yang diapit dengan bambu
raut, pohon pisang berbuah yang tingginya sama dengan anak yang akan
di-Pandawa-i, tak lupa, anak tersebut dipakaikan tutup kepala yang
terbuat dari anyaman daun siwalan dan diikat di kedua tangannya, ibarat
temuan yang harus ditebus dengan rupiah oleh wali anak pada seorang
tokoh pemimpin ritual tersebut. Tak lama dari prosesi itu, Dodi, anak
Marni yang biasanya hanya menghambur-hamburkan harta keluarganya, ia
mulai berubah, menjadi anak yang hemat lagi dermawan.
“Bagaimana ini Pak? Apa mungkin kita melakukan Pandawa?” Nyai Mahmudah bertanya halus.
“Bapak tidak tahu juga Bu, Bapak sekarang lagi bingung, mungkinkah Bapak menelan kembali ludah yang terlanjur jatuh ke tanah?”
“Kalau begitu, mungkin kita harus melaksanakan ritul lain yang tujuannya
sama dengan Pandawa, tapi tata caranya sesuai dengan ajaran Islam,
Pak,” isterinya menyarankan.
Kiai Syamsul sejenak menundukkan kepala menenangkan diri, lalu dengan
penuh kepasrahan, ia bermunajat pada Tuhan, memasrahkan urusan jiwa dan
raga pada sang pemilik kehidupan. Pertanyaan-pertanyaa yang sedari tadi
terpatri dalam benaknya, ia munajatkan pada Tuhan, hingga akhirnya
timbullah satu ide dalam pikirannya.
“Baiklah, Bu, kita bacakan shalawat burdah saja untuk Fitri. Karena
selain tujuannya sama dengan Pandawa, shalawat burdah juga merupakan
salah satu budaya yang tidak bertentangan dengan Islam,” ucap kiai
Syamsul sumringah.
“Ia betul Pak, kita bacakan shalawat burdah saja”
—
Angin berhembus sepoi membelai dedaunan, burung-burung bernyanyi
riang di antara ranting cabang pepohonan, seakan tanpa henti menucapkan
tahmid, takbir dan tahlil pada sang hiang kehidupan. Sunrise baru saja
pergi meninggalkan kenangan tak terlupakan lewat goresan jingga yang
kini memudar berganti kehangatan mentari yang tanpa bosan menghangati
alam raya ini.
Tepat di teras rumahnya, kiai Syamsul sumringah sambil menatap
lekat-lekat pada mentari yang kian meninggi, mendesah panjang sejenak
lalu berucap Alhamdulillah dengan penuh kemantapan, sebab hidayah indah
Tuhan yang dianugerahkan padanya bagai oase bagi jiwa yang kehausan di
tengah padang pasir yang luas. Di samping kiai Syamsul, berjejer Salman,
Syafiq, dan Taufiq yang juga sumringah dalam menyambut satu persatu
masyarakat yang mulai berdatangan untuk membacakan shalawat burdah bagi
Safitri.
Perlahan beranda kediaman kiai Syamsul mulai sesak oleh masyarakat
yang terus saja berdatangan. Tak lupa, satu persatu hidangan disajikan
untuk kemudian disantap dengan lahap oleh warga desa. Sebagian dari
mereka ada yang tengah asyik bernostalgia tentang masa lalu, sambil
menikmati hidangan yang disediakan, sedang sebagian yang lain menghisap
rokok sembari menyeruput teh yang telah dihidangkan dengan mantap.
Sejenak kemudian kiai Syamsul membuka acara, “Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarokatuh. Terima kasih banyak pada bapak-bapak
sekalian yang sudi hadir pada kesempatan kali ini. Sebelumnya saja
selaku tuan rumah, mengucapkan banyak kata maaf karena mungkin ada
kekurangan baik itu dari segi sambutan kami, hidangan atau lain
sebagainya yang kurang berkenan di hati bapak-bapak sekalian, kami mohon
maaf, karena hanya itulah kemampuan kami. Tujuan saja mengundang
bapak-bapak sekalian adalah untuk membacakan shalawat burdah bagi anak
saya, Safitri, yang kini tengah sakit, dengan berharap dan memohon
kepada Allah swt. untuk kesembuannya ini. Sebenarnya hal ini tdiak lazim
di desa kita, tidak seperti halnya Pandawa, tapi alangkah lebih baiknya
jika kita menggunakan cara yang lebih berbau Islam ini sebagai
perantara munajat kita kepada Allah swt. Untuk lebih cepatnya mari kita
mulai saja, Bapak-Bapak,” pinta kiai Syamsul.
Di luar kediaman kiai Syamsul, burung-burung beterbangan menghiasi
angkasa, mengepakkan sayap lebar-lebar lalu terbang menjulang tinggi
seakan juga bermunajat lewat kepakan sayap. Sejenak kemudian terdengar
serentak dari kediaman kiai Syamsul, suara measyarakat yang tengah
membaca shalawat “Ya Arhamarrahimin, Ya Arhamarrahimin, Ya
Arhamarrahimin, Farrij ‘Alal Muslimin”
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment