Dengan menjinjing sepatu kets warna hitam itu, aku berlari
menuju gerbang rumahku. Sepatu itu lalu aku lempar pelan, dan kuraih
kunci motor yang tergeletak di meja teras rumahku itu. Kupanasi motor ku
dan sambil terus melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang tamu ku.
Jam menunjukan pukul 06:10. Sedangkan aku masuk sekolah pukul 06:30.
Jarak dari rumahku menuju ke sekolah lumayan, lumayan jauh maksudnya.
Tetapi tidak terlalu jauh lah. Setelah motorku menyala, kupakai sepatu
dan kuraih tas di kursi ruang tamu yang sudah kusiapkan semalam lalu
meluncur ke dapur untuk minum susu serta pamitan dengan orang tuaku.
“Paa, Maa aku pamiit ya. Maaf buru-buru udah mau telat nih jamnya.”
Kuketuk pintu kamar mandi “Pa, berangkat dulu.! Assalamualaikum.”
“Iyaa, hati-hati. Hmm” suaranya sedikit tidak jelas karena sedang gosok gigi.
“Gak ada yang ketinggalan? Susu udah di minum?”
“Udah kok, insya Allah gak ada. Aku jalan dulu” standar motornya aku
naikan dan motornya aku keluarkan pelan-pelan dari gerbang rumah.
“Assalamualaikum ma..!”
“Iya, waalaikumsalam.. Hati-hati loh jangan ngebut”
Jarang sekali aku seperti ini di senin pagi, biasanya semuanya sudah
tertata dengan rapi dan sempurna sebelum aku berangkat. Masalahnya hanya
tadi pagi aku kelamaan untuk buang air besarnya, karena semalam aku
makan mie goreng dengan cabe yang lumayan agak banyak.
Aku melewati jalan menuju sekolah seperti biasa. Terburu-buru? Udah
biasa di sini. Jakarta loh ini. Kota dengan segala aktifitasnya yang tak
pernah henti. Karena posisi rumahku dekat dengan markas besar TNI, jadi
kalau pagi-pagi gini ada sebuah pemandangan yang tak biasa. Aku
kebut-kebutan dengan para anggota TNI atau PNS yang bekerja sebagai
staff di Mabes (markas besar). Hal ini sudah biasa aku lakukan ketika
aku berangkat sekolah.
Aku melihat jam sudah menunjukan pukul 06:20. Sebentar lagi gerbang
sekolah akan di tutup dan aku bisa-bisa gak ikut upacara bendera nih.
Aku ini orangnya gugup kalau udah kepepet dan menyangkut masalah waktu.
Aku paling gak bisa berkompromi sama yang namanya waktu. Makanya aku
paling benci suasana seperti ini.
Sedikit lagi sudah mau sampai di sekolah. 06:28 adalah waktu yang
ditunjukan oleh jam digital ku. Aku sudah deg-degan. Keringat dingin
mulai keluar dari tangan, serta leher dan rambutku sudah mulai sedikit
berkeringat. Merasa sedikit gerah di bawah helm ini.
Greeetek.. gretekkk. greeteeek…!!
“Mang mang jangan tutup dulu mang, belom telat kan!!” teriakku kepada Mang Sueb (satpam sekolah).
“Apa-apaan gak telat, liat nih jam berapa! 06:31. Udah telat semeniit,
saya gak mau ditegor sama kepsek ah. Udah motor masukin terus berdiri
disitu. Ga bisa ikut upacara.”
“Yah.. serius ni mang?”
“Iya serius.. udah sana..!!”
Dengan loyo kuparkirkan motor dekat dengan pos satpam sekolah.
Aku gak sendiri sih, ada juga adik kelas serta kakak kelasku yang
telat hari itu. Hari Senin memang selalu ada murid yang telat. Tapi ini
masih bagus, belum terlalu banyak. 2 minggu yang lalu yang telat hampir
50 anak. Maklum awal masuk setelah libur. Jadi masih harus penyesuaian.
Kalau minggu ini yang telat paling 12 anak lah.
“Tuh duh kamu tuh telat mulu San! Makannya kalau bangun tuh jangan
kesiangan terus” bentak suara yang sedikit berat kepada anaknya yang
diantar.
“Iya iya, besok-besok Sany gak telat lagi kok. Janji ko yah..” menebar
senyum ke wajah Ayahnya yang mengantar, walau wajah Ayahnya tampak tidak
bersahabat.
“Ya udah masuk sana..” sang Ayah memutar balikan motornya dan meninggalkan gerbang sekolah yang penuh dengan murid telat.
“Sany lagi Sany lagi, heei kamu itu udah berapa sering telat heeh!” tegur mang Sueb.
“Ya gimana lagi mang.. Sany kan susah bangun pagi.”
“Rumah kamu itu deket banget San, ya jangan sampe telat-telat mulu lah.
Contoh sama yang rumahnya jauh dong, tu liat kaya si Dimas.” Telunjuk
mang Sueb menunjuk ke arahku. – “baru kali ini dia telat, biasanya dia
gak pernah telat. Sudah sana berdiri di samping Dimas.”
“Iya yaa mang…” dengan loyo Sany berjalan semampai ke samping kiri ku.
“Lo Dimas kan?” tanya Sany dengan nada kecut.
“Iya, ada apa?”
“Gak kok, gak ada apa-apa”
“Dari yang gua denger tadi rumah lo katanya deket. Kok bisa telat?”
“Bukan urusan lo ya, gua lagi badmood nih”
“Dih, iye ya udah”
Upacara hari itu pun selesai, dan kami dipersilahkan masuk ke kelas
masing-masing. Tapi sebelum itu kami di marahi dulu oleh guru bagian
kesiswaan di sekolah kami. Setelah puas beliau memberikan amarahnya
kepada kami, aku pun memakirkan motorku di tempat parkir motor siswa.
Tidak jauh dari pos satpam sekolah. Ku senderkan standar motorku dan
sekilas aku melihat ke spion dan terpampang Sany yang berjalan ke arah
lorong sekolah.
“Cantik juga.. sayang galak” gumamku. “Eh ngapain malah jadi mikirin
dia! Udah ah masuk kelas.” Aku berjalan sedikit cepat menuju lorong
sekolah itu.
Prakk.. prakk. prakk suara derap langkahku cepat menyusuri lorong
sekolahku. Dengan wajah yang tidak bersahabat, aku lewati para siswa
yang lain di lorong itu menuju kelasku. Sekolah ku berbentuk letter U,
dan kebetulan kelasku berada pada persimpangan di pojok utara.
Bersebelahan dengan kelasnya Sany. Dia Ipa1 dan aku Ipa 2. Karena aku
sudah kelas 2 jadi kelas kami tidak berada di lantai atas lagi. Dari
kelasku bisa terlihat jelas masjid sekolah kami. Berbentuk kotak persegi
dengan ornamen bulan bintang di atasnya.
“Weedeeh gua kira gak masuk lu masbro..” sapa Doni teman kelasku.
“Iya lu kan kalo udah telat biasanya suka gak masuk” sanggah Tia – aku
memang punya kebiasaan gak masuk kalau sudah telat, biasanya sudah ku
perhitungkan. Kalau aku berangkat pada waktu yang tidak seperti
biasanya, aku pasti mengurungkan niat untuk sekolah. Tapi hari ini aku
nekat dan hasilnya telat – . “Ga kaya biasanya, ada apa nih Dim?” tanya
Tia.
“Ya ga papa kan nyobain telat sekali, masa 3 tahun gua di sini gak pernah telat” belaku.
“Paling-paling juga karena ada pelajaran Pak Dirman kan hari ini, hayo
haha” saut Iman teman sebangku ku yang datang dari kamar mandi.
“Tau, eh udah telat gini lu bawa tugasnya doi ga? Lupa nge print lagi” saut Doni.
“Wait.. tugas apaan? Kan itu Cuma di suruh nyari doang buat bahan belajar hari in… Oh sh*t! Pak Dirman kan…”
“Ga ngenal tugas, PR, sama bahan belajar. Bagi dia semua itu sama, bobotnya…” saut Tia.
“Pekerjaan Rumah! Ya gak Man..” Saut Doni dari bangkunya yang bersebrangan dengan kami. (aku dan Iman).
“Ya udah gak usah panik gitu Dim, kemaren lo gua telpon kemana? Gak diangkat” sanggah Iman.
“Iya nih Man, kemaren gua sama sekali gak megang hp. Gua nonton acara standup comedy di TV. Bilang apa ya gua ke..”
“Assalamualaikum… Pagi anak-anak” suara berat dan parau itu seakan membuatku menjadi manusia es sejenak.
Seisi kelas.. “Waalaikumsalam Pak… Selamat pagi..!”
“Yaa.. Yaa” Pak Dirman berjalan pelan ke arah kursinya, serta menaruh
secara perlahan gelas berisi penuh air minumnya yang bertutup warna
biru. Beliau merapikan sedikit taplak mejanya. Pak Dirman adalah sosok
guru yang jarang sekali membawa buku sebagai bahan ngajar untuk kami.
“Gimana.. Teori tentang yang bapak beri Kamis lalu. Sudah di cari?”
dengan senyum penuh arti, pak Dirman menatap seisi kelas.
“Deg, preet preet nasib apa gua hari ini. Mending tadi gua sepik-sepik
sakit berak-berak sama nyokap daripada gini” gumamku dalam hati.
“Ayo di keluarkan, Bapak cek ya benar atau tidaknya. Hmm Aryo Dimas
Setyo!!” panggil Pak Dirman tegas. “Mana..? Masuk tidak? Aryo Dimas
Setyo..!”
“Dim.. Dimas… woy… dipanggil pak Dirman. Dimas!” bisik Iman pelan seraya menyenggol lengan kananku.
“Eh.. iya.. Saya pak. Masuk kok, hadir…” jawabku gugup.
“Gimana hasil pencarianmu tentang teori yang kemarin, sebutkan..!” kata
pak Dirman tegas seraya melangkahkan jalannya ke arah duduk kami. Tap..
Tap.. Tap suara sepatunya. “Apa? Bapak tidak dengar..”
“Ehmm pak.. ssa..ssayya.. tidak ngerjain pp..ppaak” jawabku seadanya dengan gugup.
“Leeh, gimana toh iki. Kan bapak suruh mencari, terus dipelajari.. Baru
di sini kita berdiskusi tentang hasil dari teori itu. Duh kamu ini..
Coba kami Don jangan cekikikan aja, apa yang kamu dapat?!” matanya cepat
menatap ke arah Romi dan Doni yang duduk sebangku.
“Wes siap pak..” Doni mempersiapkan kertasnya. “Jadi pemberlakuan
siskamling di seluruh kampung itu sangat di perlukan, menging…aaat
aa..danyaa… ke..jahatan… lah kok?” Doni kebingungan lalu membongkar isi
tasnya “Anu pak.. hehe saya salah bawa print nan, ini pidato bapak saya
selaku ketua RW hehe maaf pak”
Seisi kelas tertawa “HUAHAHAHA DOOON DOON, BAPAKMU MENJUNJUNG TEORI
SISKAMLING YA..?” ejek salah satu teman sekelas. “Eehh enak aja, salah
bawa tau..!”
Aku hanya bisa memalingkan wajahku menatap tembok dan tertawa pelan karena tingkah si Doni barusan.
“Sudah sudah, sama aja.. Ya udah yang lain baca dulu ya bapak mau keluar
dulu. Bapak masuk nanti kita bahas masalah teori ini. Untuk Dimas, bisa
ikut bapak sebentar?”
“Eh iya pak.. bbii.. bbisa..” jawabku pasrah.
Di luar kelas..
“Dimas.. Bapak sebetulnya tidak marah sama kamu. Bapak hanya kecewa kamu
tidak mengerjakan tugas dari Bapak. Kamu biasanya selalu rajin
mengerjakan tugas-tugas dari Bapak…”
“…Pagi pak Dirmaaaan” suara manja nan centil dari si Dina dan Dini (anak kembar dari IPA 3).
“…Oh ya Pagi Pagi.. Ya jadi gitu ya. Untuk masalah Teori ini coba kamu
ke kelas IPA1. Pinjam dari salah satu mereka tentang teori ini. Hari ini
di akhir jam bapak akan mengajar di kelas itu. Cepat sana..!”
“Ipa 1 pak.. yaah jangan pak kan bapak tau sendiri anak-anaknya…”
“Dimas…. mau bapak marah.?!” Gerutu Pak Dirman sambil melotot tajam.
“Engga pak.. iya saya kesana.”
Karena jam pertama kelas IPA 1 adalah komputer makannya isi kelas
mereka kosong dan semuanya ada di Lab. Komputer di lantai 2. Ketika aku
berjalan melewati kelas Ipa1 menuju ke tangga..
Ngeek..brak!
“Duh..!! Woy hati-hati dong kalo…”
“Ehh maaf, maaf gua buru-buru jadinyaa gak liat kalo ada orang maaf.”
Orang tersebut panik dan tangan kanannya mencoba untuk menyentuh dahi ku
yang kejedot pintu tadi.
“Iya ..iyaa ga papa. Sshh..”
“Ya udah maaf ya, gue buru-buru nih udah telat ke Lab. Komputer. Ada praktek soalnya.. daaa..”
“Ehh bentar bentar…” tahanku seraya memegang tangan kanannya.
“Kenapa mau minta tanggung jawab? Duh gak tepat banget ini…” wajahnya
tampak pucat di iringi keringat yang perlahan mengucur pelan sebesar
jagung.
“Bukan bukan San, gua boleh minjem Tugas dari Pak Dirman…”
“Oh ambil aja, ada di atas meja gue, meja gue di paling depan yang ada
tas warna item. Cari aja ya. Ambil aja!! Gue buru-buru nih maaf. Daa” –
dengan cepat dia menjawab pertanyaanku dan dengan cepat juga dia pergi
dan berlari menuju ke arah LAB.
“Cantik… harum lagi..” gumamku.
Siang Hari setelah istirahat ke dua 13:30
Ada sebuah perempuan cantik dengan matanya yang berbinar, memandang
jauh ke arah yang sanggup dia lihatnya. Tanpa peduli arah yang dia
lihat. Seakan mencari sesuatu, tetapi tidak menemukan yang pasti. Dengan
sedikit-sedikit melihat ke arah jam tangan swatch yang menempel di
lengan kirinya. Hembusan nafasnya menandakan bahwa ini bukan waktu yang
tepat untuk menikmati istirahat..
“Sany.. ngapain di pintu kelas? Nyari orang..?” Sapa Dwi cewek
primadona di kelas IPA 2. Banyak yang suka, tapi aku ga tertarik walau
dekat sama dia. Bukan sombong, aku punya prinsip aja temen sekelas bukan
untuk di jadikan pacar. Mereka itu keluarga terselubung kita.
“Duuh eeh Dwi… iya nih nyari Dimas. Kok gak ada di kelas yaah?” jawab
Sany panik, sambil menghentakkan kakinya pelan di lantai lorong sekolah.
“Dia biasanya ada di bangku deket gerbang sekolah kalo istirahat sama anak-anak cowok lainnya. Ada apa?” Dwi balik bertanya.
“Gini Dwi.. tadi Dimas minjem tugasnya Pak Dirman itu looh. Terus abis
ini Pak Dirman ngajar di kelasku. Gini aja, kalo dia udah balik, tolong
kasih ke kelas ya. Please ya Dwi..” tangan Sany seraya menggenggam erat
tangan mungil Dwi. Sambil menampilkan wajah yang kian pucat.
“Oh gitu, iya tadi dia emang gak bawa. Ya udah nanti gua sampein deh..” jawab Dwi.
“Iyaa.. ya udah yaa tuh Pak Dirman udah mau masuk kelas gua. Daa Dwi, tolong ya..”
Tidak lama setelah itu.
Romi berteriak (Nih woooy, dengerin dulu yaa. Kata Ibu Susan (guru
Bahasa Indonesia). Bu Susan tiba-tiba anaknya sakit, terus Bu Susan
nganter ke rumah sakit. Jadinya gak ngajar, kita di suruh ngerjain tugas
yang di halaman 45 dengan referensi yang ada di perpustakaan.”
Seisi kelas berteriak “HOREEE WUUU WUUU MANTAP, KANTIN KANTIN!!”
“Heh! Ini Bu Susan anaknya sakit juga. Ngerjain tugas dulu baru ke Kantin!” Bentak Romi ketua kelas kita.
“Dim, tadi si Sany pesen kalo…” Dwi menyapaku dan mengingatkan pesan dari Sany.
“Hmmh!! Iya gua lupa. Thanks Dwi.. Iya gua tau. Tugas pak Dirman kan!
Iya ..” aku ambil tumpukan kertas itu dari meja dan bergegas lari ke
arah kelas ipa 1 yang ada di sebelah.
Tok.. tok.. tok..
“Permisi pak Dirman..” suaraku memecah keseriusan Pak Dirman dalam menerangkan tugasnya tadi.
“Iya ada apa Dim, perlu sama bapak?” jawab pak Dirman.
“Bukan pak dia mau sama saya.. eh makdusnya.. eh maksdunyaa…!!” bantah
Sany dengan lantang. Karena dia duduk di paling depan jadi suaranya
cukup lantang untuk di dengar seisi kelasnya.
“…Ciyaaelaah Sany maunya sama Dimas nih dari kelas sebelah? Acieee
ciyeee emang pantes kok. Ye kan..” sanggah si Lia cewek tukang gosip
dari kelas ini.
“Udah Dim, tembak…” “Ciyee Sany sama Dimas… Ciyee..” “Wah abis ini ada
pasangan baru..” suara kian riuh saling saut dari kelas ini karena si
Lia tadi.
“Bukan kok, ini gua mau ngasih kertas yang tadi..” aku berjalan ke arah
meja Sany dan menaruhnya di mejanya “Thanks San..” kulihat Sany dan dia
hanya menunduk malu diam tak berkata apa pun.
“Iya..” jawab Sany lirih.
“Sudah-sudah diam. Dimas, udah gitu aja kan? Silahkan kembali ke kelasmu. Bapak mau lanjut mengajar lagi.” Saut pak Dirman.
“Iya pak, terimakasih..” aku berbalik dan menuju ke arah pintu kelas itu.
“Dim, wah jahat wah nanti pulang di bawah pohon gerbang sekolah yaa!!
Tembak Sany!!” teriak Juna dari arah belakang. Karena perkataannya
seraya membuat seisi kelas kembali menyoraki kami.
“Sudah.. kita lanjut lagi diskusinya. Juna diam ya!! Atau keluar kamu..!” bentak pak Dirman.
Aku tutup pintu kelas ipa1 dengan pelan, ku dengar suara sayup-sayup
dari pak Dirman menjelaskan tentang tugas yang di berikannya. Berjalan
pelan ke melihat ke arah Sany dari luar kelas. Dia tampak masih malu dan
wajahnya hanya menatap ke arah meja di depannya. Terlihat samar, Azizah
nampak sedang menggoda si Sany. Dengan pukulan pelan, tangan kiri Sany
memukul bahu Azizah seraya melepas senyum kecil siang itu di pelajaran
Pak Dirman yang sedang berjalan.
Siang itu tampak berbeda dari biasanya. Panas di hari senin itu tak
seperti panas di hari lainnya. Panas kali ini lebih membuat rasa hati
bergejolak. Hembusan angin di bawah pohon dekat parkiran itu tampak
lebih sejuk dari biasanya. Tak pernah sebahagia ini ketika pulang
sekolah. Aku duduk di pinggiran bangku dekat pohon itu. Melihat
anak-anak yang lain tertawa gembira membicarakan hal yang terjadi hari
ini. Beberapa dari mereka melepas diri dan keluar menuju gerbang sekolah
lalu memesan lumpia basah yang berjualan di depan gerbang. Heran,
melihat hal-hal biasa ini menjadi lebih menyenangkan banding biasanya.
Apa ini ya yang para pujangga bilang, bila hati menemukan idamannya,
maka tak ada seorang pun yang bisa menghalangi. Dengan kata lain, aku
jatuh cinta.
Berawal dari sebuah tanggapan galak di pagi hari, sampai bersimpuh
pada rasa malu karena cemooh orang. Elsany Ghofarri, sebuah nama yang
membuat aku terhenti seketika jika aku melihat daftar nama teman di akun
facebook-ku, membuatku merasa lebih nyaman memandangi profile
picturenya. Mencoba untuk menggali lebih dalam, dan aku teringat Dwi.
Dwi sangat akrab dengan Sany. Mungkin karena mereka sama-sama cantik.
Jadi punya koneksi tersendiri. Aku terkadang tertawa kecil kalau harus
mengingat kejadian hari ini.
Besoknya aku berencana untuk mencoba bertanya-tanya kepada Dwi
mengenai Sany. Karena mereka dulu sempat satu kelas waktu kelas 10.
Siapa tahu, aku bisa menemukan informasi lebih mengenai Sany.
SELASA PAGI
Suasana yang seperti biasa terjadi di pagi hari ini. Aku tidak telat
lagi. Aku sampai sekolah pukul 06:18. Masih ada lumayan cukup waktu
hingga bel sekolah berbunyi. Kuparkirkan motorku di parkiran motor siswa
dekat dengan pos satpam dan bangku gerbang sekolah. Lahan parkir ini
tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil. Berbentuk kira-kira
10×12 M lah. Parkiran ini khusus untuk siswa kelas 11 dan 12. Karena
kalau untuk kelas 10 biasanya parkir di dalam.
Kulihat Mang Dadang sedang menyapu di pojok parkiran motor. Kudengar
suara sapunya menggesek tanah yang berlapiskan aspal hitam ini.
Daun-daun bertebaran dengan arah yang tak menentu. Mang Dadang berusaha
untuk mengarahkan jalur melayang daun-daun itu ke arah pengki yang ada
di dekatnya. Dengan kaus lengan panjang yang lengannya digulung hingga
sikut, terpampanglah urat-urat dari lengan Mang Dadang yang sedang
menyapu. Wajahnya tertunduk penuh tanda serius untuk menyapu parkiran
ini.
“Mari Mang Dadang.. yang bersih maang..” sapaan serta lontaran candaan kecil dari kelas 12 yang baru datang kepada Mang Dadang.
“Ehh elu Jak, gak bareng Riri?” sapa balik Mang Dadang kepada Jaki,
karena mereka sudah akrab jadi sapaannya udah seperti teman sendiri.
“Enggak, dia gak enak badan katanya. Yuk dah mang, ke kelas dulu.” Jawab
Jaki sambil berjalan melewati Mang Dadang menuju ke arah lorong
sekolah.
Sambil melihat itu aku pun ikut berjalan ke arah lorong sekolah.
Berjalan santai menyusuri lorong yang lebarnya kurang lebih 1,8 M ini.
Dengan di sebelah kirinya kita bisa melihat perpustakaan, ruang kepala
sekolah, ruang staff dan guru serta ruang admnistrasi secara berurutan.
Setelah ruangan-ruangan tersebut, nampaklah sebuah ruang tunggu dan meja
piket bagi guru-guru yang sedang piket untuk hari itu. Ada sebuah
tangga di samping meja piket tersebut. Mengarah ke lantai 2. Kelasku
masih harus melewati terus tangga ini hingga sampai pada tikungan tangga
ke 2. Kelasku sangat dekat sekali dengan kantin sekolah. Tak heran bila
banyak dari kami yang suka mencolong kesempatan izin ke kamar mandi
lalu langsung membeli cemilan di kantin.
Aku membuka pintu kelas ku, dan aku menengok ke arah kiri. Di pintu
itu, kemarin aku bertemu dengan sosok gadis yang jelita dan baik. Pasti
dia belum datang pagi ini. Dia kan selalu datang terlambat. Aku masuk ke
kelasku, dan aku melihat sudah ada Dwi di dalam kelas sedang berbicara
dengan teman-teman cewek yang lainnya.
“Iya jadi gitu, ih padahal mah ya gue kan rada-rada gimana sama si
Rusli” suara bisik-bisik dari Linda. Ratu gosip dari kelas kami. Sangat
rival sekali dengan Lia anak IPA 1.
Mereka semua saling sahut menyahut untuk menyampaikan ungkapan dan pernyataan mereka. Sementara itu…
“Dwi, Dwi.. bisa kesini sebentar..” aku memanggil Dwi dan berjalan ke arah meja guru yang ada di depan dekat dengan papan tulis.
“Hmm ya? Ada apa Dimas? Linda bentar ya, yang lain lanjut aja dulu gua
ke Dimas dulu..” potong Dwi dan berdiri lalu berjalan ke arahku.
“Ciyaaelaah Dwi pagi-pagi udah di panggil cowok, eh calon cowoknya..”
sahut Linda dan diikuti oleh suara cemoohan dari teman-teman yang lain.
“Yee Lin, masih pagi juga. Ini urusan bisnis nih. Penting!!!” jawabku tegas.
Greet… “Ada apa Dim?” tanya Dwi sambil menyeret bangku yang ada di paling depan dan duduk di di sebelahku.
“Gini.. lu deket sama Sany kan?” ujarku pelan.
“Ya lumayan, dulu kan kita temen satu kelas” jawab Dwi dengan pasti.
“Nah, itu dia..”
“Itu apa? Ada apa sih Dim?” Tanya Dwi balik.
“Punya nomor hpnya gak? Atau lu tau ga dia orangnya gimana?” jelasku ringan.
“Dim?” tangan kanan Dwi memegang Dahi ku.
“Eciet ciet ciet.. Dwi megang dahinya Dimas. Ciyeeee Dwi masih pagi Dwi…! HAHAHA” sahut serta komentar Linda memecah suasana.
“Ihh Linda apaan sih, gak ada apa-apa juga.” Bantah Dwi dengan malu.
“Kenapa dah lu? Lu ngira gua sakit?”
“Haha iya, masa tiba-tiba nanyain Sany. Tumben.. Naksir?” jawab Dwi sekaligus menjebak.
“Wess, rahasia nih Dwi. Ya agak-agak sih. Makannya gua nanya-nanya gini sama elu.”
“Ya udah-ya udah, nanti istirahat gua ceritain deh. Udah mau masuk soalnya nih”
“Okelah.. janji ye istirahat.” Bisikku pelan namun penuh sarat.
Aku pun berjalan kembali ke tempat dudukku di belakang. Iman sedari
jauh sudah tertawa kecil dan melihat ke arahku. Seraya matanya
sekali-sekali mengedip dan melirik ke arah Dwi, niatnya mau ngeledek
kayanya.
“Kenapa Man? Kelilipan?” tanyaku kesal.
“Haha, gak kok. Ya udah buruan masuk ke dalem.” Jawab Iman sembari memiringkan badannya dan mempersilahkan aku masuk ke dalam.
“Eh eh eh, Dim. Lo nembak Dwi?” Tia menanyaiku dari bangku depan dengan posisinya yang langsung berbalik ke arah meja kami.
“Ini lagi si pret dut. Engga kok Ti. Itu Cuma persepsi warga-warga gosip
aja tuh” telunjukku seraya mengarah ke arah Linda yang sedang merapikan
tempat dudukknya.
“Halaah boong, tadi istirahat-istirahat apaan? Mau nembaknya pas istirahat?” tanya Tia lagi dengan tambah penasaran.
“Duh Dim, selera lu kok temen sekelas sih ah. Cupu lo..!!” saut Iman menimpali.
“Eehh ehhh bukaaan. Gua lagi ada perlu sama dia. Nah urusannya itu
lanjut nanti pas istirahat. Seriusan, gua gak mau nembak dia kok.”
Jawabku tegas.
“Haaah gombalmu kosong, boong aja nih. Palingan juga entar lama-lama
kegep cipokan di kelas sama Dwi hahaha” bantah Tia dengan bercanda.
“Hahaha, lupa diri itu namanya.. Hahaha” ejek Iman sambil menertawaiku.
“Terserah lo pada dah.. Gua gak mau nembak Dwi” jawabku pelan sambil berbisik, karena Pak Doni sudah masuk kelas.
Selepas hari itu, aku mendapatkan informasi yang cukup detai mengenai
Sany. Dengan segala tekad, aku harus bisa membuat Sany menjadi sosok
yang indah masa SMA ku disini. Kita menyatukan visi dan misi kita
bersama. Mewujudkan masa depan yang cerah dan indah. Tanpa ada yang
terluka ataupun duka di antara kita. Khayalku terbang jauh melebihi Neil
Armstrong yang pergi ke bulan. Roketku terbang melesat jauh melewati
Apollo 11. Dengan kekuatan yang lebih besar dari Superman. Hasratku kini
seperti sanggup untuk membuat tembok yang lebih agung dan panjang dari
Great Wall China. Angan-anganku lebih besar dari angan-angan Nelson
Mandella. Merasa seperti Dewa Neptunus, rasa ini melebihi dalammnya
palung terdalam di belahan Samudera Pasifik. Sungguh luar biasa
informasi dari Dwi hari ini. Dia memberikan apapun tanpa terkecuali
sampai-sampai…
“Iya gua pernah kan jalan sama dia, terus kita mampir gitu ke toko.
Terus pas gua liat-liat lama gitu dia beli ukuran yang 34 C. Terus dia
milih yang polos warna merah gitu…”
Aku tersedak es teh “Uhuk.. hukk. hoyy hooyy.. Dwi!!” potongku cepat
seraya menutup mulut Dwi yang tak bisa terus berkoceh tentang Sany.
“Ohiyaa.. Astaghfirullah. Duuh maap maap” dengan panik dia mengambil
gelas es tehku dan meminumnya. “Ehhmm, hmm lupain!! Inget Dim..!! Lupain
yang tadi” matanya langsung melotot tajam dan serius menanggapi
komentarnya sendiri.
Aku pun diam dan menaikkan mataku ke atas seraya berkata “Yaaa yaaa,
maklum cewek kalo cerita gak bisa di stop.” Ujarku menimpali pernyataan
Dwi barusan.
“Iya, pokoknya kalo sama Sany jangan ngomong masalah tadi..!!” ujar Dwi tegas.
“Kenapa dengan gue..?” suara pelan itu tiba-tiba memecah keheningan sementara dan seraya membuat suasana menjadi tanda seru.
Aku dan Dwi menengok ke arah suara tadi dan serentak “Sany..!!” dengan
polosnya Sany menatap ke arah kami sambil tangan kirinya yang memegang
bungkusan bubur ayam yang baru dia beli. Telunjuk tangan kanannya dia
taruh di di dagunya sambil menggaruk heran karena tingkah kami.
“Ada apa sih kalian? Kaya abis di tegor Pak Dirman aja.” Tanya Sany heran.
“Hmm ini.. San.. Ehh apa tuh, iya kemaren kan lo minjemin kertas kan ke
Dimas. Dia terimakasih banget sama lo gitu Deh..” jawab Dwi sebisanya
dengan kaki kirinya yang menendang pelan ke arah kaki kanan ku.
“Ohh Ohh iya itu, wah lo malaikat gua banget sob. Iya ga ada lo kemaren
gua ga tau deh hehe” ujarku pelan seraya menggaruk pelan rambutku yang
agak ikal ini.
“Oh hahaha, hii kaya sama orang lain aja. Oh iya tapi maaf lo kemaren,
jidat lo udah gak kenapa-kenapa kan?” jawab Sany sambil duduk di sebelah
Dwi.
“Jidat? Kenapa emang lo Dim? Udah main di jidat apa. Ehh haha” saut Dwi
“Apa sih lo Dwii… ish rese sama kaya yang lain.” Tangan kanannya yang bebas mencubit pelan pipi kiri Dwi.
“Gua juga mau…” bisikku pelan
“Ha? Apa dim?” tanya Sany seraya memperjelas dengan matanya melotot heran dan kepalanya di dekatkan.
Aku melihat Dwi hanya tertawa kecil “ya udah jawab dulu, kenapa lo kemaren..” tanya Dwi.
“Iya gua kejedot pas mau ke kelasnya dia Dwi.” Jawabku pelan.
“Hmmm hmmm kelakuan si anak barong dasar, woy lu di cariin sama bang
Rusli tuh – kakak kelas, IPS 1 ketua ekskul band – Mana katanya stik
drum? Lu bawa ga?” sahut Romi dari arah pintu masuk kantin.
“Oh iye iye entar gua ke atas nemuin dia.”
“iya.. Eh Dwi ada disini. Udah makan?” sapa Romi pelan ke arah Dwi.
“Udah kok Rom, tadi sama si Dimas.” Jawab Dwi.
Aku langsung melotot dan menengok ke arah Romi seraya menggelenkan
kepala. “gua gak ada apa-apa sama doi. Sumpah..” bisikku pelan dan
mengacungkan 2 cari ke atas.
Romi melihat ke arahku dan “awas lu macem-macem” bisikknya pelan.
“Dimas, Dwi.. gua duluan yaaa. Gua mau makan di kelas nih udah laper. Daa, Romi! Duluan!” sapa Sany meninggalkan kami di kantin.
Siang itu memang lain dari biasanya. Sebuah langkah awal menuju
kebaikan yang tiada tara. Dwi sang kartu As ku sangat menolong hari itu.
Sany sang kartu Ratu sangat indah dan mempesona bagaikan telaga di
tengah sahara. Apalagi aku tau ukurannya, jadi haus.. Eh eh hmm eh…. Oke
semoga besok bisa lebih baik dari hari ini.
Bersambung…
Cerpen Karangan: Adenasta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment