Pagi ini seperti biasa aku mulai membuka buku tulisku dengan sedikit mencuri kesempatan untuk melirik Icha teman sebangkuku yang sedari tadi sibuk dengan penanya. Entah mengapa akhir-akhir ini kulihat dia begitu ceria, tak pernah terbesit di anganku untuk menanyakan hal itu kepadanya karena yang terpenting adalah aku ikut merasa bahagia melihat sahabatku menguntai senyum seindah itu. Kualihkan fikiranku untuk kembali membuka bukuku, kutulis 6 huruf dengan gaya grafiti. Kurangkai nama “Malvin” dengan sepenuh hati dan entah mengapa aku menjadi tersenyum-senyum sendiri, pipiku mulai panas dan anganku mulai membawaku terbang tinggi. Oh Malvin mengapa aku jadi begini, dari awal masuk SMP aku mulai menyukaimu bahkan sampai saat ini. Hanya rangkaian namamu seperti inilah yang mampu mewakilkan semua perasaanku. Aku bingung bagaimana bisa aku mengatakan ini padamu, sementara kau juga tak pernah memberikan sesuatu yang bisa membuatku mengerti bahwa kau juga memiliki perasaan yang sama. Bahkan puluhan tulisan seperti ini selalu menjadi saksi cintaku untukmu yang tak pernah tersampaikan.
Kedatangan temanku dari kelas sebelah membuatku kaget dan membuyarkan semua pertanyaan-pertanyaan cinta di anganku, seketika lamunanku terpecahkan karena candaan Nina yang tiba-tiba menepuk pundakku.
“Fandah, kamu nggak kenapa-napa kan? Pagi-pagi udah ngelamun kayak nenek-nenek!”, candanya sembari menepuk pundakku. “Hehe, iya nih biasa Na si cowo manis itu selalu mengganggu ingatanku”, curhatku. “Aduh nih anak pagi-pagi udah ngegombal, mending kamu samperin aja ke kelasnya sana terus tembak deh”, ledek Nina membuatku tersipu. “Gila ih, aku kan cewe malu dong nembak duluan”, jawabku. “Dari pada kaya gini, suka dari awal masuk SMP sampai duduk di bangku SMK ngga jadian-jadian juga”, jawabnya menasihatiku. “Iya sih, tapi ya udahlah jalani aja kali Na, eh kesini mau ngapain sih? Sana balik ke kelasmu aja, bikin bete aja disini!”, candaku sembari menjulurkan lidah. “Oke oke santai Fan, aku bakal balik ke kelas, aku kesini cuma mau minjem buku catatan matematika kok Fan,” jawabnya sambil tersenyum ngeledek.
Kemudian kuberikan buku matematikanya dan Nina bergegas lari sambil meledekku dari luar jendela, layaknya seorang anak kecil yang nakal kepada adiknya, aku hanya tersenyum kecil lalu kemudian melanjutkan menulis rangkaian nama itu.
Seperti biasanya hari Rabu aku pulang sore karena mengikuti eskul di sekolahku, setelah bel pulang sekolah aku berganti pakaian olahraga dan langsung bergegas menuju aula. Disana kulihat si cowo manis idamanku “Malvin Aditya” dari pojok depan melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Mendadak jantungku berdegub kencang dan pipiku mulai kemerahan, kulangkahkan kakiku menuju ke tempatnya dengan perasaan yang tak karuan, aku hanya bisa tersenyum setelah sampai di depannya.
“Fandah, apa kabar? Nomer Hpmu ganti ya kok aku sms tapi failed terus sih”, ujarnya sembari menjabat tanganku. “Ba.. baik kok Vin, eh iya nomerku ganti hehe”, jawabku gugup. “Ya udah nanti sepulang eskul kamu kasih tahu aku ya nomer barumu,” pintanya dengan tersenyum sangat manis. “Iya Vin, ya udah aku ke lapangan dulu ya lagian aku mencari Pak Arya tapi nggak ada disini. Sampai nanti Malvin,” jawabku sambil berlalu darinya. Dia hanya membalas dengan senyuman yang sangat menawan, parasnya yang tampan membuatku terpesona dan semakin mengaguminya. Aku berjalan dengan perasaan yang masih sangat tak menentu, seakan tak percaya dia menyapaku lagi.
Dulu waktu SMP kita memang dekat meski hanya sebatas teman di saat kegiatan Pramuka, tapi dari dulu dia memang orangnya baik dan senyumannya itu yang membuatku bisa terbang melayang ka langit ke tujuh. Kulihat dari kejauhan Pak Arya dan teman-teman eskul sudah berbaris di lapangan, segera aku berlari agar tak membuat mereka menunggu lama.

Nada dering ponselku membuatku terbangun dari tidurku, kucari HP mungil itu yang ternyata terselip di bawah bantal. Kubaca sms itu dan mataku terbelalak seakan tak percaya di pagi buta seperti ini dia mengirimkan sms kepadaku. Jantungku langsung berdegub cepat dan aku sangat terkejut dan hampir tak percaya jikalau hari ini dia megajakku jalan. Seketika itu aku mulai terbang lagi dalam dunia khayalku dan dengan senang hati aku mau jalan-jalan dengannya mumpung hari ini hari Minggu. Mataku tak bisa terpejam lagi karena perasaanku mulai tak menentu, baru kali ini aku merasakan kebahagiaan seperti ini. Duh Malvin kamu membuatku semakin gila deh, batinku.
Meskipun hanya menemaninya ke toko buku tapi itu membuat perasaanku semakin luar biasa. Sampai-sampai malam ini aku tak bisa memejamkan mataku karena selalu terbayang wajahnya dan senyumannya yang menawan, malam ini hatiku terbelai lembut oleh malam hingga gelap mengantarkanku sampai ke pintu mimpi dan mengajakku menari-nari.
Sudah 3 bulan ini aku dekat dengan Malvin, aku mulai mengenalnya lebih dalam dan begitu pula sebaliknya. Aku begitu sangat mencintainya namun demikian entah mengapa aku tak bisa menerimanya menjadi pacarku. Ada apa denganku? Entahlah, sepertinya ada yang menjanggal di hatiku. Aku selalu mengatakan aku mencintainya namun dia memaksaku untuk menerimanya jikalau aku benar-benar mencintainya. Aku belum siap menjalin hubungan berpacaran dengannya, usia pendekatan kami baru 3 bulan meskipun kita sudah mengenal hampir 5 tahun tapi aku masih belum yakin dengan perasaannya. Bisa jadi dia mengatakan sayang bukan hanya kepadaku saja akan tetapi mungkin di belakangku juga dia mengatakan kepada cewe lain.
Karena besok adalah piketku maka aku putuskan untuk membersihkan kelas sepulang sekolah, agar besok aku bisa berangkat lebih santai. Setelah bel berbunyi aku duduk dan menunggu sejenak sampai teman-temanku pulang dan kelas mulai sepi. Aku bersihkan kaca-kaca jendela kelas kecil itu, kemudian aku buang sampah-sampah yang berada dilaci-laci meja. Begitu aku menyapu daerah lantai tempat dudukku aku melihat sebuah buku pink dengan hiasan keemas-emasan. Kubuka halaman covernya dan aku menemukan sebaris tulisan disana “Icha Paramitha”, lirihku dengan pelan. Kemudian kumasukan buku diary tersebut ke dalam tasku dan besok akan kukembalikan kepada Icha karena sepertinya buku ini ketinggalan disini, barangkali disimpan dilaci malah hilang. Kulanjutkan kegiatan piketku dengan tenaga yang masih tersisa.
Senja ini langit menutup sinar mentari yang beranjak pulang ke ufuk barat. Di mejaku tergeletak sebuah buku diary berwarna pink milik Icha. Lalu aku tak mempedulikannya lagi, dengan penuh harap langit kelabu itu hilang namun yang terjadi adalah hujan dikala senja. Kupandangi rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan dan membentuk embun di kaca jendelaku. Suasana sore ini membuatku bad mood dan aku mulai beralih kembali dengan buku diary Icha. Kubuka lembar kedua dan tersentak seakan tak percaya dengan gambar hati merah muda yang tertancap garis berbentuk panah dan nama itu tersirat “Icha love Malvin”. Seakan tak percaya dengan semua ini dan ketidak percayaanku membuatku penasaran dengan isi dari lembar-lembar selanjutnya. “Ah ternyata”, lirihku dengan metikan air mata. Aku tak percaya bahkan diluar dugaanku bahwa setiap pagi yang Icha tulis di buku diarynya adalah tentang Malvin. Meskipun aku lebih dulu menyukai Malvin tapi aku merasa malu karena cintanya Icha lebih besar dari apa yang aku rasakan. Aku merasa hina karena telah mengkhianati sahabatku sendiri, tangisku pecah dan hanya gemuruh hujan yang menemani dan memeluku dengan dingin dan pilu.
Aku rasakan tubuhku mulai lemas dan tak bisa membayangkan apapun lagi, pandanganku mulai samar-samar dan semua benda yang di kamarku terlihat buram dan semakin lama aku hanya menemukan titik hitam dan aku tak mengingat apa-apa lagi. Sejak saat itu aku mulai menjauhi Malvin dan stop komunikasi dengannya. Aku semakin bersalah bila aku meneruskan hubunganku dengan Malvin, meskipun aku sangat menyayanginya tapi aku juga tak bisa membiarkan sahabatku menangis dan bersedih.
Suatu hari aku dengan terpaksa dan berusaha ikhlas memberikan nomer ponsel Malvin ke Icha, aku tak peduli dengan perasaanku dan harapanku. Yang terpenting hanyalah kebahagiaan sabatku yang aku sayangi, aku rela merasakan sakit ini asal dia bahagia. Biarlah aku memendam dan mengurungkan keinginanku untuk bersama Malvin, aku masih punya semangat yang lain dari sahabat dan kedua orang tuaku. Sejujurnya aku aku mencintainya tapi aku tak mungkin membiarkan hati sahabatku terluka.
Semakin hari dan semakin lama Malvin dan Icha semakin dekat dan beberapa bulan setelah itu aku mendengar dari curhatan Icha bahwa dia telah berpacaran dengan Malvin, aku mencoba tersenyum di depannya. Aku tak sanggup menghancurkan kebahagiaannya, karena bagiku dia sudah seperti saudara kandungku sendiri. Aku tak pernah menceritakan tentang aku dan Malvin kepadanya, biarlah perasaanku kusimpan di dalam relungku sampai perasaan itu terkubur waktu.
Pagi ini rasanya aku ngga enak badan dan aku tak masuk sekolah karena kondisiku masih lemas dan tidak memungkinkan untuk beranjak dari tempat tidur. Aku pun tertidur dan berusaha istirahat yang cukup agar kondisiku mulai pulih kembali. Makan siang kali ini aku disuapi sama ibuku yang cantik, dia sangat baik padaku dan dia tak pernah memarahiku sekalipun aku berbuat kesalahan.
Aku hanya bisa menonton tv di kamar sendirian sembari berbaring di sofa. Tiba-tiba ponselku berdering dan tak kusangka Icha menelefonku. Ada apa ya?, batinku.
“Ha.. halo.. Fandah huhu, kok kamu ngga pernah cerita sama aku kalau kamu suka sama pacarku? Jahat banget deh kamu, tega yah khianatin aku huhu,” ujarnya sambil terisak-isak.
“Halo Icha kamu kenapa? Ya ngga mungkinlah aku suka sama pacar kamu, yang bener aja deh”, jawabku gugup.
“Dasar pembohong!”, bentaknya. Tut tut tut, dia mematikan telfonnya dan aku hanya bisa diam dan tak tahu harus berbuat apa. Lamunanku terhenti karena sepertinya ada seseorang yang masuk kamarku, ah dia pasti selalu ada buat aku, batinku.
“Nina, kok kamu ngga ngabarin sih kalau mau kesini”, sambutku sembari menjabat tangannya. “Emang harus laporan dulu yah sama kamu?”, ledeknya. “Ya engga engga deh”, jawabku sambil tersenyum. Kemudian Nina mengobrol-ngobrol lama denganku sampai sore dia baru bergegas pulang. Dia meminjam laptopku untuk mengerjakan tugas kelompok karena barangkali aku besok masih belum bisa berangkat sekolah.
Senja itu aku menikmati acara menoton tv ku dengan ceria, meskipun 2 hari ini aku belum bisa berangkat sekolah. Tiba-tiba ibuku datang dan membawakanku secangkir susu coklat hangat. “Ndo, tadi di depan ada temanmu. Katanya mau njenguk kamu Fan..”, ujar ibuku lembut sembari meletakkan cangkir itu diatas meja. “Iya bu, suruh masuk ke kamar Fandah aja”, pintaku.
Beberapa saat kemudian kulihat Icha datang ke kamarku dan langsung memelukku. Tangisnya pecah di bahuku dan aku mencoba menenangkannya.
“Ada apa Cha?”, tanyaku bingung. “Maafin aku ya Fan, gara-gara aku, Malvin sama kamu jadi saling jauh. Maafin sikapku kemarin ya?”, pintanya dengan masih terisak-isak. “Bukannya aku yang seharusnya minta maaf ya Cha? Aku udah khianatin kamu Cha,” jawabku. “Engga Fan, kan kamu dekat duluan sama Malvin dan aku udah ngerusak semuanya. Aku udah baca semua catatan kamu di laptop Fan, aku ngerasa bersalah, maafin aku Fan huhu”, jelasnya sambil terisak-isak. “Ya udah Cha jangan dibahas lagi, aku udah luapain itu. Aku ikhlas kok Cha demi kebahagiaan kamu”, jawabku.
“Fan aku udah mutusin Malvin”, ujarnya. “Loh kenapa? Bukannya dulu kamu sangat menginginkannya?”, tanyaku keheranan. “Iya Fan, tapi dulu aja kamu berkorban buat aku masa aku bahagia diatas penderitaan kamu huhu”, isaknya. “Iya udah Cha, aku udah maafin kamu sebelum kamu meminta maaf kok, udah ya jangan nangis”, jawabku sembari mengusap air matanya. “Kamu baik banget sih sama aku Fan, padahal aku udah nyakitin kamu huhu.”
Aku hanya bisa mengusapkan air matanya, karena itulah arti sebuah persahabatan. Rela membuat sahabatnya tersenyum meski harus merelakan apa yang dia inginkan dan selalu bersedia mengusapkan air matanya ketika sahabatnya menangis dan selalu mau memeluknya ketika sahabatnya itu merasa dalam kesendirian.
Semenjak saat itu aku dan Icha semakin akrab dan persahabatan kami semakin kuat meski cinta terkadang membuat persahabatan hancur, akan tetapi tak terjadi padaku. Cinta itu tak harus memiliki, lebih baik kehilangan cinta yang belum pasti menjadi milik kita selamanya dari pada kita harus menghancurkan persahabatan yang selama ini sudah pasti kami jalani.

~The End~
Cerpen Karangan: Nur Khakiki

0 comments:

Post a Comment