Namaku Muhammad Ajil, biasa di panggil Ajil. Sekarang duduk di bangku kelas 4 SD. Saat bangun pagi, tubuhku masih terasa perih bekas pukulan Ibuku semalam menggunakan rotan. Setiap pagi aku harus mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu dan masih banyak lagi. Setelah semua itu seselai, aku baru berangkat sekolah. Di sekolah aku mengambil kesempatan untuk berjualan gorengan. Gorengan itu bukan Ibu yang memasaknya, melainkan milik warung makan terdekatku.
Setibanya di sekolah, aku langsung masuk kelas dan belajar. Namun hal yang tak ku inginkan terjadi! Buku tulisku tinggal 2 lembar lagi sementara aku tak punya uang untuk membeli yang baru. Jika aku minta dengan Ibu pasti tidak boleh. Bel istirahat berbunyi, inilah waktuku untuk berjualan. Aku berjualan gorengan dengan harga Rp.500 per buah. Biasanya gorengan ini tak selalu habis, syukur hari ini semua dagangan habis terjual. Aku jadi punya harapan untuk membeli buku tulis dengan keuntungan dari gorengan-gorengan ini.
Pulang sekolah, aku langsung menuju tempat yang menjual gorengan-gorengan yang tadi ku jual. Aku mendapat upah sebesar Rp. 7000,- karena semua dagangannya habis. Aku pun langsung membeli 2 buku yang harganya Rp. 3000,- uangku masih tersisa Rp. 4000,- uang ini akan ku tabung. Aku pulang menuju rumah dengan rasa senang.
Setibanya di rumah, terlihat ibuku sedang membawa rotan. Pasti ini karena aku pulang sedikit lambat dan belum mengambil jemuran kering dan tugas yang lain. Akhirnya aku pun mengambil jemuran yang sudah kering dan melipatnya. Setelah itu aku mencuci piring bekas makan Ibuku tadi pagi dan siang ini, walau aku sendiri belum makan. Selesai dari mencuci piring barulah aku makan. Saat ku buka tudung saji, yang tersisa hanyalah setengah piring nasi dan satu kerupuk. Aku tak bisa menolak, jika aku menolak maka aku tak makan seharian ini, karena aku hanya makan 1 kali sehari.
Malamnya aku mengerjakan tugas yang diberikan di sekolahku tadi. Namun, tiba-tiba hujan turun dan atapku bocor sehingga aku terpaksa belajar setelah hujan berhenti. Hujan berhenti pukul 23.00, saat itulah aku belajar hingga selesai. Menyiapkan daftar pelajaran besok dan tidur.
Hal yang ku lakukan pagi ini sama dengan pagi-pagi yang sebelumnya. Hari ini hari minggu sehingga libur sekolah. Tapi aku merasa sedih, dimana akan ku jual gorengan-gorengan ini nanti? Aku pun menjualnya ke pasar yang jaraknya 1 km dari desaku.
Setibanya di sana, pasar terlihat ramai dan banyak pedagang-pedagang yang menjual dagangan yang berbeda-beda. Namun, dari belakang ada sebuah mobil yang menabrakku sehingga semua gorengan jatuh dan tidak bisa dijual lagi dan si penabrak itu langsung kabur tanpa memberi uang ganti rugi. Akhirnya dengan rasa menyesal aku pulang dengan tanpa serupiah uang di kantong celanaku.
Untung saja si penjual gorengan tidak marah padaku, malahan aku diberinya 3 gorengan yang sudah jatuh tadi. Aku bersyukur mendapat gorengan itu, walaupun sudah jatuh tapi gorengan ini bisa ku jadikan lauk untuk makan siang nanti.
Tapi saat tiba di rumah, Adikku (Dera) jatuh sakit. Bagaimana aku membeli obat jika serupiah uang tak ku bawa pulang? Uang Rp.4000,- kemarin, ku berikan kepada penjual gorengan sebagai ganti rugi. Dengan rasa takut aku meminta uang kepada Ibu untuk membeli obat agar demamnya reda. Namun Ibuku menjawabnya dengan marah “Buat apa beli obat? Biarin aja mati sekalian, biar gak nyusah-nyusahin. Dari tadi pagi kerjaannya rewel terus, minta ini lah itu lah. Emang Ibu gak ada kerjaan apa? Emang Ibu gak capek apa?” Aku pun terdiam dan langsung berlari ke warung dan membeli obat dengan berhutang.
Aku kembali ke rumah. Terlihat dari jendela Ibu sedang memarahi Dera dan menyuruh Dera untuk mengambil jemuran. Aku pun bergegas masuk dan mengambil jemuran. Setelah itu, baru aku memberi obat yang ku beli untuk Dera. Gorengan-gorengan tadi ku makan bersama Dera dilengkapi dengan 1 piring nasi pemberiaan tetangga. Selang beberapa menit dari kami selesai makan, Ibu pergi tak tau kemana. Aku pun secara diam-diam mengikutinya dan meninggalkan Dera.
Ibu berhenti di dekat rel kereta api. Dan betapa terkejutnya aku Ibu berdiri di atas rel kereta api bagai orang yang mau bunuh diri. Aku pun berteriak “Ibu, menyingkirlah dari situ Ibu! Jika Ibu tidak menyingkir, Ibu akan mati! Cepat Ibu, cepat! Kereta akan datang!”
Ibu menjawab “Kenapa kau mengikuti Ibu? Ibu mau mati! Di dunia ini Ibu tak pernah memiliki keadilan untuk hidup! Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil. Dan sekarang kamu dan adikmu menambah beban hidupku. Menjauhlah kamu dari sini!” Seketika kereta besar datang dengan cepat dan yang terjadi adalah..
Tubuhku terbaring lemah di pinggir rel kereta. Kepalaku terus mengeluarkan darah yang banyak dan ternyata ada Ibu di sampingku dengan wajah yang penuh air mata. “Ibu bolehkah aku minta satu hal padamu Bu?” tanyaku dengan terbata-bata. “Kau mau apa, akan ibu turuti.” Jawab Ibu dengan bibir yang tersenyum sedikit demi sedikit. Baru kali ini aku melihat Ibu tersenyum kepadaku. “Aku hanya ingin Ibu memelukku, Ibu menyayangiku, Ibu selalu tersenyum padaku, dan semua hal yang seharusnya dilakukan seorang Ibu kepada anaknya” Kata ku dengan penuh harapan. Dengan segera Ibu melakukan semua hal yang ku sampaikan tadi. Dan seketika aku menghembuskan nafas terakhirku di pelukan Ibuku.
Esoknya, Ibuku memakamkanku dengan bercucuran air mata dan selalu berkata “Kembalilah, kembali!”. Aku dimakamkan bersama Dera. Dera meninggal di saat yang sama denganku. Setelah membawaku ke rumah sakit, Ibu kembali di rumah dan melihat Dera yang sudah terbaring lemah di kamar dan menutup mata terakhir kalinya.
Kini, Ibuku hanya hidup sendiri, tanpa ditemani seorang suami dan anak-anaknya. Ibuku sebatang kara dan tak ada siapapun keluarga yang ia miliki. Setiap harinya Ibu selalu menangis karena tidak mampu mengurus dan menyayangi keluarganya. Tapi ibuku selalu ingat bahwa semua manusia yang hidup dunia pasti akan mati. Disini, Aku, Dera dan Ayah ikut senang melihat sifat Ibu yang sekarang. Aku sangat bahagia karena permintaanku dapat dikabulkan. Terima Kasih Ibu Atas Kasih Yang Kau Berikan Padaku..

Cerpen Karangan: Bunga Alfiena Darissalamah

0 comments:

Post a Comment