Aku terjaga dari tidur pulasku, rasa kebelet pipis mulai merangsang
tubuhku untuk bangun dan segera menuju kamar mandi. Aku berusaha
memanggil ibuku yang tertidur pulas di kursi seberang tempat tidurku.
Namun, hanya suara pintu berderit yang terdengar. Aku hanya terngangap
tanpa suara yang keluar dari mulut mungilku ini. Aku tak tahu harus
bagaimana sekarang. Keadaan ini benar-benar menyiksaku.
Namaku Mayang, aku menderita penyakit spinocerebellar ataxia yang
membuatku harus terbaring di atas tempat tidurku. Hampir sebulan lamanya
aku mengidap penyakit ini, dengan keadaan yang seperti ini
mengharuskanku untuk menjalani terapi medis yang bukan untuk
menyembuhkan penyakit ini, tapi hanya untuk memperlambat pertumbuhan
jaringan abnormal yang tumbuh di otakku karena hingga saat ini, belum
ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini.Penyakit ini adalah
gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Volume cerebellum penderita
menjadi lebih kecil dari bentuk normal dan menyebabkan penderita akan
kesusahan dalam mengontrol gerak tubuhnya. Sehingga, perintah yang
dikirimkan ke otak tidak bisa di proses dengan baik.
Aku selalu membayangkan saat-saat dimana aku bisa keluar bermain dan
menikmati alam bebas tanpa adanya larangan, pantangan dan jadwal minum
obat yang padat. Aku membayangkan saat aku pergi ke kebun binatang dan
piknik disana bersama keluarga dan teman-temanku. Kami berlari-lari
bermain dan bersenang-senang bersama. Dan tidak lupa, aku akan memotret
hewan kesukaanku, yaitu panda. Lalu kami akan naik kereta gantung yang
mesinnya tiba-tiba mati. Kemudian pergi ke mall dan menonton film
bersama pacarku, Rifki dan… Sssrrrttt, tiba-tiba semua bayangan itu
sirna seketika saat celana biru panda yang ku kenakan terasa mulai basah
karena air seniku. Aku hanya bisa menangis meratapi ketidakmampuanku
hanya sekedar untuk berdiri menuju kamar mandi. Aku kesal! Aku hanya
bisa meremas dan memukul kasur yang aku tiduri. Aku benar-benar tak
habis pikir mengapa semua ini terjadi padaku. Aku pun menangis
sejadi-jadinya, sampai akhirnya ibuku terbangun dan memelukku dengan
hangatnya.
“Ada apa sayang?” kata ibuku sambil membelai rambutku yang tinggal beberapa helai saja karena efek dari terapi yang aku jalani.
Aku malu dengan apa yang telah kuperbuat. Aku tak tahu harus berkata
apa pada ibuku. Aku hanya melepaskan pelukan ibuku yang sedari tadi
berusaha untuk menghapus air mataku dan tersenyum padanya. Kulihat mata
ibuku berbinar seolah menahan perih yang amat menyanyat hatinya. Beliau
pun tersenyum, mulai mengerti apa yang terjadi. Ia pun segera
menggendong tubuh mungilku yang sekarang hanya 30 kg beratnya menuju ke
kamar mandi. Dan aku pun tersenyum. Namun, mata ibu kembali berbinar
seolah-olah senyumanku adalah jarum yang menusuk di hatinya. Aku tahu
ibu sedih melihatku dalam keadaan seperti ini, namun aku akan tetap
berusaha tersenyum, aku ingin ibu tahu kalau aku bisa sembuh, aku ingin
memberikan semangat pada ibuku. Mungkin, ibuku lelah mengurusiku selama
sebulan belakangan ini. Aku yang hanya bisa terbaring di tempat tidur,
tidak bisa pergi ke sekolah, bermain basket atau hanya membeli es krim
yang sering lewat di depan rumahku. Tapi aku tidak akan bersedih,
senyuman itu akan selalu aku tebarkan tanpa ada keluhan di dalamnya.
Setelah ibu memandikanku, ia pun segera memakaikan baju terusan
kesukaanku yang berwarna biru dengan ornament panda di bagian bawah
roknya. Lalu dengan senyuman hangat yang terpancar dari wajah indahnya,
ibuku pun pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapanku. Sebenarnya aku
tahu, senyuman itu hanya topeng ceria yang ibu tampilkan di hadapanku.
—
Tepat lima belas tahun yang lalu aku dilahirkan. Ayah sempat bertanya
padaku tentang hadiah yang kuinginkan untuk hari ini sebulan yang lalu.
Saat itu aku masih bisa berbicara seperti biasanya, aku pun tidak minta
hadiah apa-apa pada Ayah dan Ibuku.
“Mayang mau di rumah saja Yah, sama temen-temen Mayang” kataku dengan polosnya.
“Bener Mayang nggak mau yang lain?” selidik Ayah.
“Iya, Yah. Beneran” Jawabku sambil tersenyum.
“Mayang sudah 15 tahun loh. Apa tidak mau baju baru, sepatu baru, atau perhiasan” kata ayah.
“Nggak, Yah. Mayang nggak mau Ayah buang-buang uang cuma buat beli
barang-barang kayak begituan.” Kali ini aku sedikit tertawa saat
menjawabnya.
Dan ayahku pun menyerah dengan senyuman pahit yang terukir di wajahnya.
—
Siang itu, aku hanya terbaring di atas tempat tidurku dengan
membayangkan acara ulang tahunku di rumah bersama teman-temanku yang aku
rindukan.
“Haai, Bakpau.” tiba-tiba terdengar suara Bima yang memuyarkan lamunanku.
“Haha, panggilan loe waktu itu Bakpau. Tapi menurut gue kurang seru. Gue
pengennya Ubur-ubur. Kedengerannya lebih cute gimana getoo.” kata
Trisna menambahkan kata-kata Bima dengan gayanya yang lembut tapi
menancap tepat di hati.
“Loe masih tetep cantik ya, May” sahut Ratu menambahi.
“Halah, cantik itu dari hati, Tu. Nggak kayak kamu, cantiknya di bedak
doang. Hahaha” kata Bobby sambil melirik Ratu yang cemberut mendengar
fitnahannya.
Aku terkejut dengan kedatangan teman-temanku. Ini pasti kerjaan ayah,
sesuai dengan permintaanku satu bulan yang lalu. Ayah memang orang yang
sangat baik dan berwibawa di mata teman-temanku. Tidak heran jika Ayah
berhasil mengundang teman sekelasku yang sekarang sedang menghadapi
Ujian Semester. Aku hanya tertawa melihat kelakuan aneh teman-temanku.
Ada yang naik kursi goyang berempat, mencoba alat-alat terapiku,
lompat-lompat di atas tempat tidurku, makan cemilan yang entah sudah
berapa lama ada di kamar, keluar masuk kamar mandi bahkan membuka lemari
ajaibku yang punya 8 buah pintu. Aku sangat merindukan tingkah konyol
mereka.
“Eh, Mayang. Rifki minta maaf tu. Dia bilang nggak bisa nengok loe
hari ini. Loe tau kan Ibunya, ngasih jadwal les kayak ngasih jadwal
minum obat. Tiga kali sehari. Mungkin besok dia baru bisa kesini.”Kata
Ratu membuyarkan lamunanku.
Aku pun mendekati meja kecil di sebelah tempat tidurku. Aku telah
membuat sebuah surat untuk Ratu dan Rifki. Aku berusaha keras untuk
menulis surat ini walaupun hasilnya terlihat seperti tulisan anak umur 5
tahun. Aku teringat saat aku melihat Ratu dan Rifki berduaaan di mall
sehingga kata demi kata dalam surat ini diiringi dengan jatuhnya air
mataku.
—
Dear double “R”. (Rifki dan Ratu),
Saat kalian membaca surat ini, gue mungkin udah berangkat ke tempat
paling indah yang nggak mungkin loe-loe pada bisa susul. Gue seneng
banget waktu nggak sengaja ngeliat loe berdua di mall. Waktu itu gue
lagi jalan-jalan sama bokap dan nyokap gue. Gue ngeliat pacar gue dan
sahabat gue ketawa dengan serunya. Gue nggak pernah ngeliat, loe ki,
ketawa sampe segitu ngakaknya dan ngeliat, loe tu segitu cantiknya
ketawa di depan Rifki.
Jujur, bukan hal baru buat gue pas tau kalian jadian. Gue pengen
banget marah sama loe berdua, tapi gue lebih marah sama diri gue
sendiri. Gue marah sama keadaan gue yang nggak memungkinkan gue buat
ngegapai impian-impian gue. Untuk apa coba gue marah? Gue sayang banget
sama loe berdua. Jadi, gue putuskan untuk ngedukung dua orang yang luar
biasa berarti di hidup gue.
Harapan gue, kalian bisa ngelakuin hal-hal seru berdua. Terutama, hal-hal seru yang belum pernah gue lakukan sebelumnya.
Ini ada daftarnya:
Ke pantai malem-malem pas musim ujan, pemandangannya pasti keren banget
Makan eskrim + saos sambel :p
Tengokin Bokap + Nyokap gue tiap bulan
Buat sekolah gratis dengan nama “Panda School for Everyone”
Urusin kebun mawar gue di Bandung
Gue pengen banget ada sesuatu yang gue tinggalin dan bermanfaat buat
orang lain. Gue juga nggak pengen jadi pendendam. Jadi gue restuin
hubungan kalian, gue doain semoga awet kalo bisa sampe nikah. Gue sayang
banget sama loe berdua. Surat ini gue tulis bukan untuk ditangisin lho!
Gue pergi dulu yaaa.
With Love,
Mayang
—
Aku membungkus surat ini dengan amplop biru berpita emas yang
bertuliskan “Buat Rifki dan Ratu”. Lalu aku memberikan surat itu kepada
Ratu. Dengan wajah heran Ratu pun menerimanya. Aku pun tersenyum yang
membuat senyuman manis di bibir mungil Ratu terlihat.
“Bacanya ntar bareng Rifki ya” kataku dengan senyuman manis yang
terbentuk di bibirku ini. Entah kapan aku bisa tersenyum untuk mereka
lagi.
“Iya, May. Tenang aja! Sepulang dari sini aku langsung ke rumah Rifki
buat nunjukin surat ini” Terlihat wajah penasaran Ratu yang berusaha
ditutupinya.
Hari sudah semakin sore, Mereka pun pamitan untuk pulang. Aku dan
Ayah mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah. Perlahan-lahan
langkah mereka mulai sirna dari pandanganku. Ayah pun mengajakku masuk
ke rumah. Surat itu, Rifki dan Ratu telah membuatku tenang. Sesampainya
di kamarku, aku berpamitan pada Ayah dan Ibuku. Mungkin itu hal terakhir
yang kulakukan, sebelum aku merasa lelah dan akhirnya tertidur pulas.
Selamat tinggal Ayah, Selamat tinggal Ibu, Selamat tinggal semua. Terima
kasih telah mewarnai hidupku, aku bangga bisa memiliki kalian. Sekarang
aku bahagia di sini, Sampai bertemu di Surga.
Cerpen Karangan: Dwi Rahma Sari
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment