Selepas melihatmu di pagi itu, aku terus saja menunggumu. Di waktu
yang sama, tempat yang sama, suasana yang juga terkadang sama. Hanya
satu hal yang berbeda, kerinduan yang mulai menyeruak ke dalam hatiku
dan kian menjadi seiring dengan bertambahnya waktu.
Di pagi itu, rinai hujan berlarik dari langit. Di antara taburan
gerimis, kau turun dari bis kota dengan tangan tertudung di atas
kepalamu agar tak terkena tempias sisa-sisa hujan. Kau lantas menuju
tempatku berdiam, ruang tunggu terminal kota. Kau mengibas-ngibaskan
tanganmu, pakaianmu, pun rambutmu yang tergerai indah.
Ada yang aneh di hatiku saat itu, sebuah perasaan yang tak asing lagi
bagiku. Tapi entahlah, semuanya terkesan berbeda. Untuk pertama kalinya
dalam sejarah hidupku, aku tak berani menyapa seorang wanita terlebih
dahulu. Sungguh lidahku kelu untuk mengucapkan sesuatu, walau sepatah
kata pun padamu. Mungkin karena suasana gigil yang sedang berkuasa waktu
itu, atau mungkin kau memang tercipta untukku. Itulah sebabnya hingga
saat ini, setelah sebulan berlalu, aku tetap pertahankan tekadku untuk
menunggumu.
—
Sebagai lelaki yang cukup pengertian, kau pasti tahu bahwa menunggu
adalah sesuatu yang paling tak mengenakkan. Tapi kau tega membiarkanku
tersiksa menunggu penjelasan darimu: tentang hubungan kita, cincin yang
melingkar di tanganku, semuanya. Kau biarkan aku menunggu. Ah, aku makin
tak mengerti dengan sikapmu akhir-akhir ini.
Seharusnya kau lebih memperhatikanku daripada urusan-urusan kantormu
itu. Bukannya egois, tapi sebagai tunanganmu, aku ingin sedikit mendapat
perhatian lebih darimu seperti awal-awal kita bertemu.
Bukan hartamu yang ku mau. Makanya, aku lebih suka kau ajak makan di
warung-warung pinggir jalan asal kau tunjukkan perhatianmu padaku,
daripada di restoran-restoran mewah dengan hanya saling pandang dengan
tatapan nanar penuh tanda tanya kecurigaan.
Tapi kini, jangankan mengajakku makan, menerima telponku pun kau jarang.
Ada apa sebenarnya denganmu? Akankah aku terlepas dari hatimu? Atau
mungkin ada sosok yang telah menggantikanku di hatimu? Sungguh kau
membuatku bingung dengan sikapmu.
Saat ini, aku hanya bisa menatap kosong langit-langit kamar. Mencoba
mengingat segala kenangan indah kita, lantas kembali menatap sendu pada
cincin pertunangan kita yang melingkar indah di jari manisku.
—
Oh ya, nampaknya waku itu ada sebuah cincin yang melingkar di jari
manismu. Itulah yang membuatku hingga kini terus saja dihantui rasa
khawatir. Mungkinkah kau sudah punya pacar, tunangan, atau bahkan suami?
Sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan yang
terlanjur ada untukmu ini jika hal itu benar-benar terjadi. Namun harus
tetap kupertahankan keyakinanku, bahwa kau memang tercipta untukku,
sesuai dengan segenap harapan yang kusulam, juga setiap munajatku pada
Tuhan.
Suasana pagi ini, nyaris sama seperti sebulan lalu saat pertama kali
aku melihatmu di tempat ini. Dengan hujan, gigil, juga lalu-lalang
kendaraan yang tak begitu padat. Hanya satu hal yang berbeda, aku tak
sendiri saat ini. Beberapa deret bangku dariku, tampak seorang pria
berpakaian rapi seolah juga tengah menantikan seseorang. Pria itu baru
saja menutup pembicaraannya di telepon, menghubungi orang yang ia
tunggu.
—
Baru saja kau menelponku. Katamu, kau tengah menungguku di terminal
kota itu. Memang terminal itu adalah tempat pertama kali kita beremu,
tapi hujan-hujan begini tak seharusnya kita membicarakan semua ini di
tempat itu. Aku benar-benar bingung dengan sikapmu. Barangkali itulah
penyebab mimpi aneh menghampiri tidurku semalam.
Untuk kali ini, mau tidak mau aku harus menemuimu. Aku tidak mau menungu
lebih lama lagi. Menanti kejelasanmu tentang semua ini. Aku akan
berangkat menemuimu. Semoga saja kau takkan mengecewakan aku lagi. Tak
seperti sebelum-sebelumnya saat kau tak datang di setiap kali kuajak kau
bertemu. Rapat mendadak, bertemu client, dipanggil atasan. Nyaris
kuhafal alasan-alasanmu di setiap kali kau tak datang memenuhi janjimu.
Sejenak kupandangi cincin pertunangan kita sembari merapalkan harapan,
semoga tak ada tangis hari ini. Aku berangkat menemuimu, semoga kau
masih di sana menungguku.
—
Dua jam sudah aku menunggumu, sepertinya kau tak kan datang hari ini.
Itu berarti hari ini aku harus pulang dengan membawa sedikit kekecewaan
lagi. Tapi tunggu dulu, kulihat pria yang juga tengah menunggu itu
nampak gelisah di tempat duduknya. Bahkan dari raut wajahnya tampak
seperti orang yang tengah kesal dengan sesuatu. Padahal ia baru saja
datang, tak sepertiku yang telah dua jam tepekur menunggumu.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata ia juga memakai cincin
yang nyaris sama seperti yang melingkar indah di jari manismu sebulan
lalu. Ada firasat tak enak yang perlahan menjalar di benakku. Namun
segera kutepis semua itu, berusaha tetap teguh dalam keyakinanku.
Hujan berganti gerimis, kendaraan sesekali berlalu-lalang memecah kesunyian, sementara gigil mulai menguasai segalanya.
Satu bis kembali berhenti. Dan tanpa disangka, dengan suasana, tempat,
dan gigil yang sama, kau kembali muncul dari dalam bis itu. Masih sama
seperti sebulan lalu: dengan tangan tertudung di atas kepalamu sambil
berlari menuju tempatku berdiam.
Sejenak aku tak percaya pada apa yang tengah terjadi. Inilah yang
kutunggu selama ini. Ada yang berdetak tak semestinya di dadaku. Lebih
cepat, lebih mengisyaratkan sebuah ketaksiapan. Entah mengapa.
Kembali kau kibas-kibaskan tanganmu, pakaianmu, pun rambutmu yang
tergerai indah. Lantas kau menoleh ke arahku, sejenak menatapku dengan
nanar seolah tengah mengingat sesuatu.
Kau kemudian memalingkan arah pada pria yang juga menunggu itu, mendekatinya, dan ya Tuhan, firasatku benar!
Dadaku sesak seketika, nyaris tak bisa bernapas. Perih sekali. Hanya
bisa meratapi segala harapan, penantian, juga kegelisahan menyenangkan
yang setelah ini akan terkubur bersama sepi. Aku tak kuat lagi. Sungguh
tak sanggup menyaksikan semua ini lebih lama lagi.
Aku pun beranjak pergi. Menembus gigil gerimis, berjalan menyusuri
trotoar dengan langkah gontai. Terus menjauh, berusaha melupakan
segalanya dan seolah angin lalu saja. Tapi sayang aku tak bisa.
Aku masih tak percaya dengan apa yang tengah terjadi. Begitu berat
kuterima semua ini. Sungguh. Segalanya seakan terus memojokkanku. Ingin
rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya bahwa aku kecewa. Tapi apalah
daya, mulutku tetap terdiam, langkahku semakin gontai, dan selebihnya,
aku benci semua ini!
Aku terus melangkah, membiarkan gerimis membasahi tubuhku sepenuhnya.
Terdengar derap langkah cukup cepat yang perlahan mendekat ke arahku.
Tetap aku acuhkan saja seolah tak pernah terjadi apa-apa. Derap langkah
itu semakin jelas terdengar. Terus mendekat, lalu kemudian berhenti
begitu saja.
“Kau hadir dalam mimpiku semalam.”
Aku tersentak. Terdiam sejenak, lantas menoleh ke asal suara. Aku tak
percaya. Kulihat kau terisak sambil tersenyum ke arahku dengan cincin
pertunangan yang tak lagi melingkar di jari manismu…
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment