Pagi ini kota indah Jogjakarta diselimuti awan dingin. Selimut tebal
masih menempel di tubuh, agar si dingin tak menyambangiku. Tapi tetap
saja, aku tak bisa mengalahkan dingin hanya dengan selembar kain
selimut. Ku buka pintu, emmmmm bau semerbak pagi menyambutku, menusuk
dalam peraduan pernafasanku, “segar dan sejuk.” Gumamku sembari
tersenyum pada wajah pagi. Mentari pun belum mau menampakan diri, masih
malu-malu di ufuk timur yang jauh di dalam.
“woiii Ndut, ayooo cuss lari, malah masih bangun tidur.”
Suara yang ku kenal menyapaku di depan gerbang kos. Ya, itu suara
Mufta bersama Adry. Mereka sahabat karibku. Biasalah kami selalu lari
pagi setiap minggu. Emmm aku lupa, sebenarnya aku tidak gendut, hanya
pipiku sedikit tembem saja, tapi biasalah mereka selalu usil
menggangguku. Kadang mereka memanggilku Ibu. Katanya aku seperti ibu
bagi mereka kalau lagi masak. Kadang aku dipanggil Bu Dosen. Karena aku
sering membantu mereka menyelesaikan tugas kuliah, biasalah mereka
anak-anak sedikit di bahwahku levelnya. “hehehehe. ini cukup aku yang
tau…”
Kadang aku juga dipanggil mbok. Ya buat panggilan satu ini aku agak
ogah si, karena kalau mereka udah manggil aku mbok, wahhhh berarti
dandananku lagi kacau balau gak karuan, ancurrr se ancur-ancurnya.
“tunggu yo, aku ganti celana dulu kep.” Jawabku sembari masuk dalam
kamar. Ya, KEP adalah nama panggilan Mufta. Dia mantan penggila b*kep,
tapi itu dulu sih. Saat awal kita bertiga baru sahabatan, tapi sekarang
telah berubah. Bukan b*kep lagi tontonanya, tapi buku yang jadi
sahabatnya. Sungguh perubahan yang luar biasa dan cetar membahana.
Kami sering berlari mengitari kampus.
ya cukup satu putaran saja sudah membuat tulang kaki kami merasa
lelah dan keringat kami menetes. Kampus yang cukup nyaman untuk
berolahraga. Banyak pepohonan yang masih segar, ada taman yang kanan dan
kirinya dihiasi tanaman kecil. Di samping belakang ada kolam yang
ditumbuhi teratai dan rumah bagi ikan-ikan cantik.
“duduk situ yuk sob.” Ajak Adry sembari menunjuk kursi besar di
taman. Nampaknya dia yang selalu menjadi juara pertama dalam lari. Ya
maklumlah, dia atlit futsal. Timnya lumayan disegani oleh mahasiswa
kampus. Adry ini cowok yang aneh, perasaanya seperti cewek. Jadi kalau
dia main futsal dan kalah, wahhh itu berarti dia lagi galau berat.
“Hehehehe sori bos Adry, dikit ngejek gakpapa kan.”
Kami duduk bersama, berbincang-bincang dan tertawa lebar. Bercerita
banyak hal. Pagi ini kami membuat topik pembicaraan masalah masa depan
kita bertiga. Bagaimanapun kami adalah mahasiswa semester akhir yang
dikejar target. Bukan target skripsi sih, kalau itu kami bertiga merasa
tidak berat, kami nikmati prosesnya. Tapi target yang kita buat sendiri
dan kita ukir kata wajib di otak untuk diwujudkan. Inilah kami, tiga
sahabat pemimpi besar. Julukan itu bukan kami yang buat, tapi
teman-teman kampus. mereka selalu melihat kami pemimpi, ya pemimpi dalam
hal apapun. Karena kami memang benar pemimpi yang akan siap mewujudkan
mimpi-mimpi besar itu.
“elu Ndut. Masih nyimpen target yang dulu kita tulis di buku diary
tiga sahabat?” tanya Mufta yang tiba-tiba mengingatkan mimpi kami dua
tahun yang lalu. mimpi yang kami jaga dan kami perjuangkan hingga esok
bisa tercapai.
“masih dong Kep. Aku gak akan melenyapkan target itu. Di otak ini
sudah bayak cara buat wujudin mimpiku. Tepat seminggu setelah wisuda,
aku bakal balik ke kampung. Aku pengen bantu anak-anak di kampung. Ya
taulah kampungku di pelosok negeri ini. mimpiku Cuma satu sob. Aku
pengen mengubah cara fikir masyarakat kampung. Aku gak pengen lagi
denger anak-anak kampungku dibodohi pemerintah, aku juga gak mau denger
anak-anak kampungku dijodohin dan dinikahkan saat mereka lulus SMA. Aku
juga gak mau denger lagi anak-anak kampungku yang gak mengerti se*s dan
akhirnya mereka hanya hamil diluar nikah tanpa tanggung jawab dari si
lelaki. Pokoknya aku pengen mengubah kampungku jadi lebih baik. Ahhhh
bakal jadi tugas berat nih target ku.”
Aku menghela nafas dan menatap langit. Seakan langit pagi yang mulai
cerah itu mengerti akan beratnya tanggung jawabku di kemudian hari.
Tapi, jika bukan aku yang mengubah tanah kelahiranku, lalu siapa?
Pemerintah? Oh tidak, mereka tidak benar-benar peduli pada kampungku.
Buktinya hingga kini jalanan masih berdebu tanpa aspal. Sekolah-sekolah
reot layaknya gubuk mau runtuh. Penduduk yang minim fasilitas dibiarkan
begitu saja. entahlah, daerahku termasuk daerah kaya di Negri ini, tapi
uangnya kemanapun aku tak tau. “kalo kamu sendiri gimana Adry?” tanyaku
tiba-tiba.
“kalau aku tetep. Lulus wisuda langsung ambil tabungan di Bank dan
buka usaha di Bandung. Kebetulan Abang juga udah punya usaha disana,
jadi aku bisa belajar dari abangku. Aku pengen umur dua puluh lima udah
kaya sob. Hehehe. Pokoknya harus udah punya rumah dan mobil sendiri. Itu
targetku. Keren kan? Hahaha pemimpi besar.” Adry tersenyum lebar pada
kami dengan wajah optimisnya. Adry memang terkenal rajin menabung sejak
awal masuk kuliah, jadi ya pasti tabungan di Banknya sudah banyak,
apalagi dia juga suka investasi. Dia punya sedikit investasi di saham
dan Reksadana. Katanya.
“kalau aku tetep. Aku pengen dapet beasiswa ke luar negri. Aku mau
belajar sastra disana. Dan jadi penulis terkenal di luar negri. Aku gak
mau pulang ke Indonesia.” Kata-kata terakhir Mufta membuat kami bertiga
sejenak diam.
Dari dulu aku selalu tak setuju dengan mimpi Mufta. Karena jauh di
lubuk hatiku ingin jika kami bertiga tetap berjuang di satu tanah,
Indonesia. Walau beda pulau tak masalah, yang penting tetap di Negri
ini. Tapi rasanya semua sia-sia. Mulutku serasa sudah terkunci untuk
menasehati Mufta. Apalagi hatiku, sangat lelah jika mendengar mimpi
Mufta untuk ke luar negri. Apalagi Adry, Ia sudah sangat enggan meminta
agar tetap berkarir di Negri ini.
Aku selalu tersenyum jika ingat masa-masa kuliah. Indah bersama
sahabat-sahabat itu. Mereka berdua selalu membuatku kuat dalam
kehidupan. Tapi semua itu sudah tiga tahun yang lalu, sekarang disini
aku sendiri. Bersama target yang belum tercapai. Sulit dan harus
berjuang sendiri di kampungku. Kadang aku lelah mewujudkan target yang
aku tulis sendiri.
Layaknya hari ini, aku dimaki oleh seorang Ibu-Ibu di depan forum ibu
PKK yang aku bentuk. Dulu belum ada perkumpulan Ibu-Ibu seperti ini. ia
memaki aku habis-habisan hanya gara-gara anaknya berhasil aku ubah
fikiranya. Anak itu hampir saja dinikahkan dengan seorang duda oleh
ibunya, tapi akhirnya anak itu menolak dan meminta kuliah ke tanah jawa.
Sontak saja ibu itu tak memiliki biaya dan aku yang dipersalahkan.
Katanya aku gak ngerti apa-apa tentang kehidupan rumah tangga.
“ehhh mbak. Anda Itu orang yang baru kemarin sore wisuda. Jadi jangan
seenaknya menghantui fikiran anak-anak kami untuk sekolah. Jangankan
sekolah, makan pun kami sulit. Sudahlah mbak, tiga tahun anda berjuang
tak ada hasil kan. Saya mohon kembalikan kampung ini seperti dulu. Damai
tanpa protes anak-anak yang meminta sekolah. Dulu cukup bagi mereka
lulus SMP. Tapi lihat sekarang, lihat banyak anak yang meminta kuliah.
Ahhhh saya gila dibuat oleh anda.” Begitu kurang lebih caci maki Ibu itu
terhadapku.
Tentu saja aku tak ingin memperlihatkan kesedihanku. Aku sudahi saja
perkumpulan Ibu-Ibu hari itu. Terasa sakit disini ( hati ). Benar-benar
aku butuh seorang teman. Aku rindu akan Adry dan Mufta. Aku benar-benar
lelah sekarang. Rasanya aku ingin menyudahi saja. cukup semua sampai
disini.
Tapi aku juga heran pada orang-orang kampungku. Mereka bilang susah
makan, dan susah menyekolahkan anaknya. Tapi kalau kredit motor mereka
bisa. Apalagi Ibu yang baru saja memarahiku, beberapa hari yang lalu Ia
baru saja membeli sebuah ladang dengan harga puluhan juta. Tentu saja,
bukan alasan tak ada uang untuk menyekolahkan anak. Hanya ada yang salah
dalam cara mereka berfikir. Ini yang harus pelan-pelan aku ubah.
Ahhhhhh ingin rasanya aku menangis dan berteriak pada desa tercintaku
ini. mengapa mereka tak mengerti maksudku, mengapa Tuhan juga memberiku
banyak batu besar di jalanku. Aku benar-benar lelah saat ini. Entah
harus kemana kusandarkan hati yang lelah ini. jangankan calon suami,
seorang pacarpun aku tak punya. Pacar? Ahhhh tak pernah terfikir olehku
untuk berfikir tentang cinta sejenak. Terlalu sakit hati ini mengingat
semuanya. Ahhhhh aku bisa gila jika menahan semua rasa ini sendiri. Rasa
yang tersimpan rapi dari beberapa tahun yang lalu.
Siang yang cukup terik. Begitu panas dan melelahkan. Aku masih sibuk
di sebuah sekolah tepatnya di sebuah SMP. Aku bekerja disini, menjadi
salah satu pengurus SMP swasta. Dulunya SMP ini hampir dirobohkan, tapi
alkhamdulilah aku bisa meyakinkah dewan sekolah dan pemilik sekolah
untuk tetap membuka SMP ini. aku janjikan pada mereka dalam dua tahun
sekolah ini menjadi baik. Dan sekarang setelah tiga tahun, SMP ini
menjadi SMP favorit para masyarakat.
“Mbak ada yang mencari di ruang tamu.” Sapa salah seorang guru
padaku. Tak ada yang memanggilku Ibu disini. Semua memanggil aku Mbak.
Tak terkecuali para guru dan siapapun.
Aku mengangguk pelan dan anggun sembari menutup laptopku. Aku segerakan menuju ruang tamu.
Ahhhh betapa kagetnya diriku, sosok yang tak pernah aku sangka akan
mengunjungi diriku. Ia terlihat tambah manis dan tampan dengan jas
hitamnya. Sepatunya yang bersih, rambutnya yang terawat dan terlihat
lembut. Wajahnya tambah putih, nampaknya selalu perawatan. Sungguh,
sosok yang hampir tak aku kenali setelah tiga tahun tak bertemu.
“Adry…” kataku sembari sedikit mengerutkan kening, takut jika itu bukan dia, wajahnya banyak berubah.
Ia mengangguk, kami hampir saja berpelukan girang melepas rindu. Tapi
aku ingat, ini sekolah, bukan tempat umum. Akhirnya aku tahan. Adry dan
aku pergi keluar dari sekolahan ini, tentu setelah aku izin pada para
guru.
Adry hampir membuat targetnya tercapai, kini ia telah memiliki mobil
mewah, dan masih ada waktu dua tahun lagi untuk menabung membuat
rumahnya sendiri. Usahanya sangat lancar karena bantuan dari Abangnya
yang telah profesional dalam bisnis. Sesekali ia juga menyumbangkan dana
untuk daerahku. Ya aku bisa membuat SMP ini maju tak luput bantuan dari
Adry. Ia mengirimkan puluhan komputer, LCD, dan beberapa dana untuk
merenovasi SMP ini.
Aku ajak Adry ke perpustakaan umum, disana ada warung kopi kecil. Ya
warung ini miliku. Aku bangun dengan jerih payahku sendiri, aku menjual
SLR-ku, aku menjual gadget-ku, dan aku menggadaikan motor baruku. Semua
demi kemajuan desa ini, Desa tercintaku. Desa yang menerimaku lahir di
tanahnya. Desa yang rela airnya aku gunakan. Dan desa yang tanahnya siap
untuk sekali lagi aku injak-injak mewujudkan mimpi besarku.
Ada perpustakaan mini disini, ada kaset film yang bagus disini, tentu
film yang baik-baik. Tak ada satupun film yang berbau p*rno. Di bagian
belakang aku bangun sebuah taman kecil tempat membaca. Ya jam segini
warung ini sepi, biasa ramai kalau anak-anak sudah pulang sekolah.
Sekitar jam dua siang sampai malam.
Kami berdua berbicara banyak. Aku memeluknya. Aku menangis dalam
pelukan Adry. Benar-benar lelah yang selama ini ada akhirnya bisa
sedikit sirna, melihat sahabat yang begitu aku rindu hadir saat ini.
tapi ada satu lelah yang tak bisa hilang hanya dengan kehadiran Adry.
Aku rindu Mufta. Sosok itu yang aku harapkan hadir sekarang.
Aku mencintainya. Ya aku mencintai Mufta sejak awal bertemu, jauh
sebelum aku dan dia bersahabat. Itu alasan sebenarnya mengapa aku
menahanya pergi keluar negri. Aku terlalu tak kuat jika harus
melepaskanya pergi dan tak kembali ke Indonesia. Berarti harapanku untuk
memilikinya tidak ada. Aku menghela nafas panjang dan jauh ke dalam
paru-paru. Merasakan sakit yang begitu hebat tersimpan disini (hati).
“ada dengar kabar Mufta gak Jen?” tanya Adry padaku. Ya namaku yang sebenarnya adalah Jeny.
Aku hanya menggeleng sembari menyandarkan kepalaku di bahu Adry. Aku
menitikan butiran bening, merindukan sosok Mufta yang sangat gokil dan
gila. Sosok yang dulu juga membuatku bertahan di Universitas itu. Sosok
yang bisa aku jadikan penguat saat lelah. Tapi kini bukan Mufta yang
ada, melainkan Adry. Sahabat yang juga begitu aku sayangi. Ya aku begitu
menyayangi Adry sebagai sahabat.
Adry tau segala ceritaku di desa ini, dia faham aku begitu lelah.
Setiap hari aku selalu sms atau telefon denganya dan bercerita apa saja
yang terjadi hari itu. Tapi, tak ada satupun dari kami yang tau dimana
Mufta. Terakhir kami bertemu di depan gedung wisuda. Setelah itu, tak
ada satu kabar pun dari dirinya. Kami sudah berusaha mencari. Tapi semua
akses tentang dirinya tertutup. Facebook, twitter, line, instagram, Hp,
BB, dan semuanya tidak ada yang bisa dihubungi. Semua seakan mati
tentangnya.
Pagi itu alarm Hp ku berbunyi. Ternyata nada pengingat. Lima tahun
sudah kini kami bertiga berpisah. Berlari pada garis masing-masing.
Mencari tujuan akhir individu. Tiba-tiba sebuah sms singkat masuk ke
Hpku. Betapa senangnya diriku. Sms dari Mufta, mengundangku untuk datang
ke Jogjakarta. Ia disana. Ia juga ternyata sudah memesankanku tiket
penerbangan hari ini. tentu saja aku langsung pergi dengan baju seadanya
di dalam koper.
Delapan jam sudah aku di dalam perjalanan. Di bandara aku disambut
oleh orang suruhan Mufta. Ahhh betapa bahagianya aku, sudah ada Adry
juga menungguku. Ternyata Mufta mengundang kami. Pasti Mufta mau buat
surprise nih untuk aku dan Adry. Kami diantar ke hotel oleh orang
suruhan Mufta. Pokoknya mufta telah mempersiapkan segala hal untuk kami.
Setelah kami selesai meletakan koper dalam kamar hotel, orang suruhan
Mufta memberikan pakaian bagus untuku dan Adry, katanya kami harus
mengganti pakaian sekarang juga. tentu aku dan Adry nurut. Pakaian yang
indah dan tentu mahal, Made In Paris di lebelnya.
“Mufta…” aku berbisik lirih saat tiba di lantai sepuluh hotel itu.
Airmataku terjatuh. Aku tak bisa membendung airmata ini lagi. terlihat
Mufta tengah duduk bersanding di pelaminan dengan seorang wanita cantik.
Tentu bukan wanita Indonesia, mungkin Paris, atau Inggris. Entahah aku
tak tak tau. Adry menyeka airmataku, Ia mengira ini airmata kebahagiaan,
karena ia tak tau jika aku begitu mencintai Mufta.
Kami bergegas menyalami mereka yang sedang asik berbincang di atas
pelaminan. Tapi aku dan Adry begitu kaget, Itu bukan Mufta sahabat kami
dulu. Tak mungkin jika itu Mufta, seakan Ia tak mengenaliku dan Adry.
Ekspresi wajahnya biasa saja saat melihat kami datang, hanya senyum
biasa. Sedang aku dan Adry hampir memeluknya, tapi ia enggan kami peluk.
Seakan tak ada rindu di dalam hatinya untuk kami.
Ahhhh hatiku tambah perih melihat kenyataan bahwa Mufta sudah tak
menganggap kami sahabatnya lagi. aku berlari keluar ruangan. Aku duduk
di kursi santai yang menghadap kaca, Adry mengikutiku. Kami
menggelengkan kepala, heran apa yang terjadi pada Mufta.
Benar-benar tak ada sambutan hangat dari Mufta. aku memeluk Adry, dan
menangis sejadinya. Negeri orang telah membuat Mufta berubah bukan
menjadi dirinya. Ia telah melupakanku dan Adry. Ia benar-benar tak ingat
dahulu bagaimana aku susah payah mengajarinya bahasa inggris hingga Ia
fasih dan bisa mendapat beasiswa. Ia tak ingat bagaimana dulu saat
kuliah, kami bertiga tertawa bahagia. Ia benar-benar telah melupakan
semuanya. Pantas saja tak ada kabar apapun dari dirinya. Kami kini hanya
orang kecil di matanya. Ia telah menjadi pengusaha sukses di Paris,
bukan dia, tapi usaha ayahnya yang dipercayakan pada dirinya.
Dan cinta di hatiku memang benar-benar tinggal sebuah harapan tak
berjalan. Kupukul-pukul dada ini. ada sesak yang begitu hebat. Cinta
yang ku perjuangkan selama delapan tahun, hanya kandas di dalam jalan
kepedihan. Aku ingin berteriak pada Tuhan, tapi ahhh sudahlah. Aku
nikmati lara ini. Biarkanlah. Aku masih punya Desaku, yang aku cintai
dan mencintaiku. Dan ada Adry yang setia menjadi sahabatku, Ia tak
pernah lelah untuk tetap bersahabat denganku.
Cerpen Karangan: R. P. Utami.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment