Kehidupan itu sungguh suatu misteri. Banyak kejadian yang tak
terduga yang terkadang menimpa kita. Itu lah yang aku rasakan, kejadian
demi kejadian yang datang membawa kesedihan.
Aku putra sulung di keluargaku. Sebagai seorang anak aku ingin selalu
bersama kedua orang tuaku, mereka yang menjaga dan mendidikku sehingga
aku menjadi anak yang berbudi baik. Bahkan, dari tahun ke tahun aku
selalu menjadi juara kelas, menjadi kebanggaan guru n di puji
kesantunanku oleh orang-orang di sekelilingku. Itu semua berkat kedua
orang tuaku…
Tapi keadaan berubah ketika aku duduk di kelas 2 smp. prahara rumah
tangga yang membuat kedua orang tuaku harus bercerai. Aku tidak lagi
bisa merasakan hangatnya keluarga. Rumah yang dulu bagiku adalah sebuah
syurga, kini berubah jadi tempat gelap yang membosankan. Tak ada lagi
kedamaian yang aku rasa. Tak ada lagi ayah yang dulu selalu mengajariku
banyak hal tentang hidup, mengajariku menjadi lelaki yang tangguh. Tak
ada lagi ibuku yang dulu selalu mengingatkanku untuk mengerjakan PR,
menyiapkan buku sekolah. Tak bisa lagi aku lihat ibuku memasak makanan
untukku…
Aku kehilangan semua itu yang harusnya masih aku miliki. Dan aku pun
harus melanjutkan hidup tanpa orangtuaku. aku memilih tuk tidak ikut
ayah atau ibuku, karena saat itu aku kecewa pada keputusan yang mereka
ambil. Entah berapa kali aku menangisi nasibku, aku selalu bertanya
kenapa harus terjadi padaku?
Banyak yang berubah dariku saat itu, pergaulanku makin bebas, karena
yang aku pikirkan saat itu hanya bagaimana aku bisa melupakan masalah
keluargaku. Beberapa guru dari sekolahku juga sempat mencariku karena
aku menghilang 1 bulan dari sekolah. Mereka memberiku semangat dan
dukungan. Sampai aku lulus, aku mendapat tawaran beasiswa tuk
melanjutkan sekolahku. Tapi aku menolaknya. Entah apa yang aku pikirkan
saat tu.
Hidup luntang lantung kesana kemari, sudah aku jalani. Kerja
serabutan ikut siapa saja yang mau membawaku. Rasa rindu pada keluarga
sering kali membuatku lemah. Tapi aku belum ingin kembali pada mereka,
aku masih ingin memuaskan diri menikmati pilihanku. Sesekali aku
mengunjungi ibuku, tapi lebih sering ke ayah aku.
Tahun ke tahun makin bertambah usiaku, aku mulai berpikir masa depan.
Aku perbarui hidupku, aku kembali pada ibuku, aku ingin membantu ibuku.
Aku sudah banyak kehilangan hal-hal yang berarti dalam hidupku. Aku
berharap hidupku akan lebih baik. Dan akhirnya aku mulai kembali menjadi
diriku yang dulu. meski tidak lengkap tapi aku kembali punya keluarga…
Aku senang dan bersyukur bisa melalui masa-masa pahitku. Tapi siapa
sangka, Tuhan kembali mengujiku dengan musibah yang jauh lebih besar.
Karena sebuah kecelakaan, aku harus kehilangan satu kakiku. Sedih,
marah, putus asa, menjadi satu melemahkan semangat hidupku. Bagaimana
bisa ini terjadi? Dan kenapa harus aku? Tuhan belum cukupkah ujian yang
harus aku lalui? Kenapa harus dengan cara ini KAU mengujiku? Bagaimana
hidupku nanti? Kenapa nasibku begitu malang? Tangisanku tak henti-henti
mnyesali keadaan ini.
Dan yang lebih menyakitkan hatiku adalah sikap ibuku yang berubah
padaku. Di saat aku hanya bisa terbaring menahan sakit, aku juga harus
mendengar kata-kata yang pedas keluar dari mulut ibuku. Kenapa ibuku
mengumpat seolah-olah aku yang menginginkan musibah ini.
Masa penyembuhanku membutuhkan waktu yang lama, dan aku harus
melewatinya sendiri, Aku berusaha tegar di depan smua orang. tapi saat
aku sendiri, aku tak mampu menahan tangisku. Saat aku lihat pahaku yang
berbalut perban setelah di amputasi. Dimana kakiku? rasanya masih
teringat jelas saat aku jalan dengan dua kakiku, tapi kenapa sekarang
jadi seperti ini?
Begitu berat menerima kenyataan ini. Kadang aku berharap ini hanya
mimpi. Hari-hariku penuh kesedihan. Kurangnya perhatian membuat aku
makin terpuruk. Aku merasa mereka menganggapku sampah. Aku hanya bisa
berdoa semoga aku di beri kekuatan. Aku berjuang melawan sakitku. Aku
ingin sembuh, aku tidak mau terlalu lama membebani mereka.
Setelah aku sembuh, aku bergabung dengan orang-orang yang bernasib
seperti aku di sebuah yayasan. Disini lah aku belajar membiasakan diri
dengan keadaanku. pelan-pelan percaya diriku mulai tumbuh. Tapi
terkadang aku iri melihat mereka yang selalu dikunjungi keluarganya tiap
minggu. sedangkan aku, hanya bisa memperhatikan satu persatu mereka
yang datang, aku berharap ada keluargaku… walau akhirnya aku kecewa.
kemudian aku lebih memilih menyendiri di kamar menyembunyikan mataku
yang berkaca-kaca.
Hanya sesekali telepon dari ayahku yang bisa sedikit menenangkan aku.
Dan teman-teman yang sudah seperti saudaraku yang membuat hariku terasa
menyenangkan. Membuatku tersenyum dan dalam hatiku berkata, aku bisa
melewati semua ini.
Sebagai penyandang cacat, aku butuh kaki palsu untuk memudahkan aku
beraktifitas. Harganya cukup mahal bagi aku. Aku gak mungkin lagi minta
orang tuaku, sudah terlalu banyak yang mereka keluarkan untuk aku.
Dengan bantuan teman-temanku, aku dapatkan proposal dari Dinas Sosial
dan Rumah Sakit. Proposal itu lah yang aku gunakan untuk meminta
sumbangan dari toko ke toko.
Dengan rasa malu dan takut, aku datangi satu per satu toko… rasanya
mau nangis kalau ingat kejadian itu, Di bawah terik matahari aku
berjalan tertatih dengan satu tongkat penyangga. Dalam hatiku bertanya
“apakah aku pengemis?” Oh tuhan… aku tak pernah membayangkan hidupku
akan begini.
Hari itu banyak toko-toko yang aku masuki, sebagian bisa memahami,
bahkan memberi suport, tapi ada juga yang ketus… dia lemparkan uang
seribu ke mukaku, astaghfirullah tuhan kuatkan aku, dalam hatiku. Sehina
ini kah aku? Inilah perjuanganku, aku harus kuat.
Aku selalu berusaha menguatkan diriku. Ternyata meminta adalah hal
yang bisa merendahkan diri kita. Aku berdoa pada tuhan, ‘tuhan, sungguh
aku terpaksa melakukan ini, hanya ini yang aku mampu lakukan saat ini,
tuhan jadikan lah ini awal yang baik’.
Setelah sore aku pulang dengan hati yang sedikit lega, karena sudah
ngantongin uang tuk beli kaki palsu. Tapi aku tidak menceritakan hal ini
pada keluargaku. Besoknya aku bawa uang itu ke rumah sakit dan
kekurangan biayanya di tanggung oleh donatur.
Ternyata benar, di setiap musibah ada hikmah yang bisa di ambil. Kita harus ikhlas dan bersabar menghadapinya.
Aku bisa belajar banyak hal, banyak pengalaman yang aku dapat dari sana.
Sekarang, meski fisikku tidak sempurna, aku bisa menjalani hidup
seperti biasa. Aku bekerja di sebuah laundry. Walaupun gajiku terbilang
di bawah rata-rata, aku tetap bersyukur masih ada orang yang mau
memperkerjakan aku. Selalu yakin dan berusaha sekuat tenaga, tak ada
yang tak mungkin.
Cerpen Karangan: Yoshe Azura
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment