Malam ini aku masih tak bisa tidur nyenyak, aku pun masih duduk termenung di teras depan rumahku sambil menatap indahnya suasana malam ditemani dengan suara-suara binatang malam yang mulai berkeliaran. Entah kenapa, mungkin aku sedang merindukan keluargaku yang jauh disana. Mama dan Papa yang sedang menetap untuk bekerja di Pontianak, adik perempuanku yang masih kecil pun memutuskan ikut dengan mama papa disana. Kakak laki-laki ku yang sedang kuliah di Jogja, itupun dia pulang hanya saat liburan semester. Aku sendirian tinggal di Semarang untuk menempati rumah orang tuaku yang sebenarnya, meskipun ada pembantu yang juga menemaniku di rumah tapi tetap saja aku merindukan sosok keluargaku.
Pagi telah datang, malam pun telah sirna. Seperti biasa aku mengawali hari-hariku untuk bersekolah sebagai siswi SMA, kini aku duduk di bangku kelas 10 B semester 2. karena jarak rumahku yang tak jauh dengan sekolah, biasanya aku memutuskan untuk jalan kaki ke sekolah.
“Dian.” Ya begitulah orang-orang memanggilku, sebut saja Dian. Aku merasa tidak asing dengan suara teriakkan seorang perempuan dari arah belakangku itu, ya Febby sahabatku. Dengan nafas Febby yang masih ngap-ngapan itu kami berdua jalan menuju kelas kami, 10 B. Di depan pintu sudah terlihat seorang lelaki dengan baju seragam awut-awutan dan rambutnya yang sedikit panjang menutupi dahinya, sambil tersenyum ia pun menyapaku, “Hai Dian” ya dia adalah Raka, teman satu kelasku yang tak lain juga mantan pacarku, tapi nampaknya dia masih menyukaiku. Dengan gaya cuekku, aku pun hanya membalasnya dengan senyuman manis.
“Dian, nanti sore jangan lupa datang ke Futsal Stadium jam 4 ya.” ucap Raka.
“Buat apa aku harus datang?” jawab Dian cuek.
“Buat nyemangatin aku lah soalnya hari ini club aku bakalan tanding lawan Devil’s United itu anak SMA 8.”
“Hmm gimana ya?”
“Ayolah plis!”
“Iya deh nanti aku usahain.”
Jam telah menunjukkan pukul 4 kurang 15 menit dan Raka pun telah menjemputku. Sesampainya disana, terlihat sudah banyak teman-teman satu kelasku yang juga ikutan menonton dan sepertinya Raka memang mengajak teman sekelasku untuk menonton pertandingan perdananya dengan Devil’s United, musuh bebuyutan Dragon FC, club futsal milik Raka. Raka bersiap untuk memasuki lapangan, namun sebelum itu, ia sempat menghampiriku dan berkata, “Kamu semangatin aku ya biar aku semangat mainnya. Oke?” ucap Raka dengan gaya kerennya itu. Aku pun hanya menjawab ‘iya’ sambil menganggukkan kepala.
“Ciye kamu disamperin Raka tuh disuruh nyemangatin dia.” ledek Febby padaku.
“Iya-iya aku tau.”
Pertandingan pun dimulai, teman-temanku yang lain nampak heboh menyemangati club Raka, sedangkan aku cuma bisa teriak, “Semangat Raka!!” lalu spontan Raka menoleh ke arahku dan mengacungkan jempol. Saat itu pula, ada seorang laki-laki yang tak ku kenal juga menatapku sambil tersenyum seperti ingin disemangati juga, sepertinya dia ketua club Devil’s United, musuh bebuyutan Raka. Pertandingan pun berakhir dengan skor 16-6. Pertandingan dimenangkan oleh Devil’s United.
“Raka.. Raka.. kamu itu gak ada kapoknya juga ya, udah tau bakalan kalah lawan tim gue tapi masih aja sok-sok jago lo. Ini udah kekalahan lo yang ke-4 kalinya, gak punya malu lo?” sindir seorang lelaki dari Devil’s United itu.
Sepulangnya, aku berusaha menghibur Raka yang nampak masih kecewa atas kekalahannya lalu aku keluar dari Futsal Stadium itu, tiba-tiba datanglah cowok Devil’s United bernomor punggung 9 yang tadi menatapku itu, dia menyapaku. “Hai” sapanya sambil tersenyum. “Hai juga” balasku singkat. Dia lalu mengajakku berkenalan, “Namaku Dion, nama kamu siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Aku Dian.” jawabku lalu menjabat tangannya.
“Wah kok bisa ya nama kita mirip gini, wah jangan-jangan kita jodoh nih.” rayunya. Aku pun hanya geleng-geleng kepala sambil senyum-senyum malu. Dia lalu menawarkanku untuk pulang bareng, awalnya aku menolak tapi karena dia memaksa jadi aku ikut dengannya. Setelah aku dan Dion sudah pergi, Raka yang nampaknya melihat kejadian tadi langsung menghampiri sahabatku Febby untuk menanya lebih jelasnya.
“Feb, Dian tadi pergi kemana sama Dion?” tanya Raka dengan wajah panik.
“Barusan Dion nganterin Dian pulang.”
“Hah? Sialan!” kata Raka kesal lalu segera pergi.
“Makasih ya udah mau nganterin pulang.” ucap Dian setelah turun dari motor Dion.
“Iya sama-sama. Aku boleh minta nomor telpon kamu?”
“Hmm.. kayaknya udah maghrib deh gak enak kalo diliat sama tetangga. Next time kalo kita ketemu lagi pasti aku kasih nomor aku.” kata Dian lalu buru-buru masuk ke rumah.
Saat di kamar, aku masih terus memutar kaset kejadian tadi saat awal aku berkenalan dengan Dion. Aku masih membayangkan wajah tampan Dion hingga akhirnya aku terlelap hingga pagi pun mulai datang. Aku bergegas bersiap pergi ke sekolah, saat aku keluar rumah sudah terlihat Dion duduk di atas motornya di depan rumahku dengan pakaian sekolah SMA 8. Dia menyapaku, “Selamat Pagi Dian”
“Pagi. Kamu ngapain ada disini?” tanyaku bingung.
“Mau nganterin kamu ke sekolah.”
“Buat apa? Sekolah aku deket tuh, tiap hari aku juga jalan kaki kok.”
“Gapapa aku anterin. Ayolah!”
Aku pun menuruti kemauan Dion, ia mengantarku hingga depan sekolah.
“Dian?”
“Apa?”
“Nomor handphone kamu.” dia mengingatkan.
Aku pun memberikan nomor handphone ku padanya. Hingga akhirnya, kami berdua sering smsan bahkan telponan. Dan akhir-akhir ini aku sering jalan bareng Dion. Raka pun yang tau soal ini nampaknya cemburu dan tak terima.
Malamnya, Raka datang ke rumahku dengan membawa setangkai bunga. Dia menyatakan cintanya padaku dan meminta agar aku mau kembali menjadi pacarnya. Tapi aku tak bisa karena aku sudah terlebih dahulu jadian dengan Dion sore itu. Raka masih tak percaya bahwa aku sudah berpacaran dengan Dion. Dia amat sangat marah dengan Dion, lalu ia mengajak Dion untuk bermain futsal dan dia bilang, siapapun yang menang dalam pertandingan itu dia yang berhak menjadi pacarku. Aku pun yang mendengar kabar itu dari temanku Febby, aku langsung datang kelapangan futsal dan menghentikan permainan mereka. Aku semakin marah dan membenci Raka karena dia telah menjadikanku bahan taruhannya. Raka pun menyesal hingga saat ini, tapi aku masih belum bisa memaafkannya.

Cerpen Karangan: Iyasa Nindya

0 comments:

Post a Comment