Hidupku mungkin adalah sebuah kesalahan, aku merasakannya demikian.
Bisakah segala sesuatunya berubah menjadi lebih baik lagi? Aku yakin
bisa. Hanya saja, hal itu memerlukan sedikit waktu dan lebih banyak
kesabaran; kau tahu, cercaan dalam sebuah gurauan dan pujian yang
mengiris perasaan semua itu benar-benar terjadi. Dalam suatu waktu,
terkadang aku tak tahu apa yang harus ku lakukan ketika hal ini terjadi;
depresi.
Ya Tuhan, ketika terjebak dalam keadaan seperti ini, apakah yang akan ku lakukan agar Kau merasa senang?
Aku hidup di suatu tempat, jauh dari rumah orang tuaku dan tempat
kelahiranku tak lagi ku ingat. Mungkin itu bukanlah hal yang terlalu
buruk atau bagaimana menurutmu? Ya, semuanya baik-baik saja. Aku tiba di
tempat ini beberapa tahun yang lalu, dengan hanya membawa badan dan
keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang hingga hari ini belum juga ku
peroleh. Dua puluh kali tahun baru telah terlampaui sejak hari itu. Tapi
semuanya masih terkenang dalam ingatanku. Mungkin itulah satu-satunya
kenangan hidup yang tetap ingin ku simpan, selebihnya hanyalah kepahitan
dan penderitaan. Tuhan, aku tak sanggup jika mengingat semua itu.
Pada masa itu, setiap orang hidup dalam keadaan yang pas-pasan,
termasuk juga keluargaku. Ayahku bekerja sebagai seorang kepala sekolah
di sebuah tempat yang cukup jauh untuk berjalan kaki, tapi terlalu dekat
untuk menetap disana. Setiap hari ia pergi kesana dan kembali pada sore
hari. Ibuku seorang ibu rumah tangga dan tak bekerja di luar rumah.
Setiap pagi, ia akan mengomel dan berteriak jika kami belum terlihat di
dalam rumah, karena masih tertidur di hari ynag cerah. Ia akan berteriak
hingga kami terlonjak dan tetangga yang kebetulan lewat akan menoleh
dan berlalu dengan terburu-buru. Kami, maksudku aku dan saudaraku yang
lima tahun lebih tua dari padaku, berlari terbirit-birit ke kamar mandi
dan setelah itu berkumpul di meja makan. Sarapan nasi putih dan telur
goreng yang itu-itu saja setiap hari ditambah dengan omelan menjadi
makanan setiap hari. Itu pengalaman yang kudapatkan ketika aku masih
sangat muda. Hingga hari ini, jika aku bertemu dengan saudaraku itu,
kami tak pernah melewatkan membicarakan peristiwa itu.
Beberapa tahun kemudian, aku memasuki pendidikan tingkat pertama
selama tiga tahun. Sedikit hal yang kuingat saat itu ataupun
peristiwa-peristiwa yang ku alami juga tak terlalu menarik. Selain aku
hanya bisa mengatakan, aku hanyalah seorang anak sekolahan dan anak
rumahan yang membosankan. Sementara saudaraku itu, ia telah memasuki
pendidikan tingkat menengah atas. Aku tak begitu mengetahui apa saja
yang ia perbuat. Pernah suatu ketika, ia terlibat pertengkaran hebat
dengan ayahku dan berakhir dengan ibuku yang menangis. Pada saat itu,
aku hanya bisa bersembunyi di dalam kamar dan menghindari teriakan penuh
amarah dan hentakan-hentakan yang menyiksa jantungmu. Hal itu
seringkali terjadi, namun aku sudah terbiasa. Aku tak lagi bersembunyi,
tapi aku akan pergi dari sana dan berdiam diri di luar rumah.
“Kau sedang apa?” tanya seseorang suatu ketika.
“Apa?” tanya ku seolah tak mendengar perkataannya.
“Sepertinya kau punya sedikit masalah disini.” Ia melihat sekeliling.
“Aku tak tahu. Mungkin saja. Siapa kau?”
“Aku seorang pelancong, jika kau ingin menyebutnya begitu.”
“Semacam orang-orang aneh yang menghabiskan hampir sepanjang hidupnya di jalanan itu?”
“Ya, seperti itulah. Tapi mereka tidak aneh. Kami sama sekali tidak
merasa aneh. Hanya sedikit berbeda.” Sahut orang itu seraya meletakkan
tas besarnya direrumputan.
“Cukup menarik. Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya menjadi pelancong?
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Kecuali kau pernah menjalaninya.
“Kenapa begitu?”
“Kau tak kan merasakan segarnya air jika bukan kau yang meminumnya.”
“Bawalah aku bersamamu.”
Orang itu menatapku lekat-lekat. “Mungkin suatu saat nanti.”
Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa tahunan terlewati dan
segala sesuatu berganti menjadi hal yang semakin tak kumengerti. Bahkan
kenangan tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa yang lampau tak
membekas dalam ingatan. Hidup menuntutmu menjadi sesuatu. Hanya saja,
aku tidak menyukai sesuatu itu. Dan saat ini, aku mendapati diriku
terduduk diam dalam heningnya senja dengan pikiran melayang entah
kemana, aku juga tak tahu. Aku sudah kehilangannya bertahun-tahun yang
lalu.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah yang menggelisahkan hatimu?” tanya ibuku.
“Oh, ibu.” Sahutku. “Aku tak mengerti betapa anehnya kehidupan ini.”
“Aku tahu, anakku. Aku tahu kegelisahan hatimu, tapi, sayang sekali ibu
hanya bisa melihat dari jauh dan tak bisa melakukan apapun untuk
menolongmu.” Dengan lembut ibuku yang tua itu membelai rambutku. Rasanya
masih seperti dulu, ketika masa-masa dimana segala sesuatu masih sangat
sederhana dan murni.
“Kenapa begitu, Bu?”
“Tengoklah ke dalam dirimu. Temukan sesuatu inti dirimu dan kau akan berbahagia.”
“Bahagia? Aku tak pernah merasakannya lagi hari-hari ini. Aku tak
sanggup menatap wajah ayahku, atau mengangkat wajahku ketika aku
berjalan di hadapan orang-orang yang mengenalku. Tidakkah kau juga akan
bertindak demikian? Aku terjebak di suatu tempat dan kemana aku akan
pergi dari sini?”
Hanya terdengar desau pasir tertiup angin sore yang kering.
Perjalanan itu semakin terasa berat. Siang hari matahari membakar
kulit hingga ke jiwa. Pada malam hari, seluruh badan bergetar dan
membeku hingga ke ujung kaki bersamaan dengan semangat yang membusuk.
Tak ada jalan kembali, bahkan pilihan itu terdengar sangat tidak masuk
akal. Tak ada tanda-tanda di atas permukaan pasir yang dapat kau jadikan
patokan akan keberadaanmu. Hanya gundukan pasir yang menggunung. Pada
malam hari, dengan memandang bintang, kau mengetahui arah langkahmu. Ke
Utara.
Aku semakin terdesak ke dalam diriku. Dunia dan keramaiannya yang
menyesakkan pandangan tak lagi menghibur atau memberi kepuasan.
Kemurnian yang dahulu menjadi harta paling berharga kini bagai seonggok
sampah di tempat pembuangan akhir. Segala sesuat menjadi lebih buruk.
Aku tahu kau juga merasakannya. Jiwamu haus dan lapar. Tapi kau tak akan
menemukannya disana. Bagai setitik tahi di angkasa, kau menoleh ke atas
dan berseru, apakah arti dari semua ini? Tapi tak ada jawaban.
Aku melanjutkan perjalanan. Aku tak ingat lagi sudah berapa lama aku
disini; waktu yang kulewatkan, kesempatan demi kesempatan yang berlalu
begitu saja dan isak tangis seseorang yang merindukan kedamaian. Namun
hingga saat ini, aku belum juga menemukan apakah kedamaian yang
sebenarnya itu.
Ayahku pernah berkata padaku:
“Waktu aku muda dulu, ayahku, yaitu kakekmu, mengatakan bahwa seorang
lelaki harus memiliki sesuatu untuk hidupnya. Menurut hematku, pada saat
sekarang ini, seorang lelaki harus memiliki pekerjaan dan paling tidak
rumah, pendeknya segala sesuatu yang berhubungan dengan kemapanan hingga
ia menjadi mandiri. Bagaimana kau akan menghidupi keluargamu kalau kau
tak memiliki kedua hal itu? Aku tahu, tidak mudah memang, tapi kau
adalah seorang lelaki. Dan kau ditakdirkan untuk bertanggung jawab.
Hidupmu bukan milikmu sendiri, tapi milik mereka yang di dekatmu,
keluargamu. Kau mengerti?”
Pada saat itu, aku hanya mengangguk-angguk bagai orang mabuk yang tak
dapat lagi mengetahui keadaan dan keberadaannya. Tapi beliau orang yang
keras, produk didikan zaman penjajahan dimana kemiskinan dan penderitaan
menjadi pemandangan sehari-hari. Dengan otot bahu menonjol dan
pemikiran modern. Kombinasi yang menarik, tapi menurutku terasa sangat
aneh. Bayang-bayang beliau mengikuti kemana saja aku berada.
Orang-orang mengatakan aku terlalu cerdas bagi seorang anak seusiaku.
Buku-buku dari berbagai pemikiran yang bertolak belakang dengan budaya
luhur turun temurun dan banyak orang menentangnya pada saat itu,
kudapatkan dengan mudah melalui seorang pamanku yang seingatku memiliki
pemikiran yang terlepas dari budaya dan kebiasaan, dan beliau seorang
penganut kebebasan yang luar biasa. Ia bahkan tak peduli dengan kritikan
bahkan hujatan orang-orang di sekitarnya.
Aku menulis pada ayahku:
“Setelah sekian lamanya aku memberanikan diri mengatakan padamu hal yang
sebenarnya ku cari di dunia ini. Pada awalnya, aku tahu kau akan
berpikir betapa bodoh dan sia-sianya apa yang ku perbuat ini. Tapi
sejujurnya, dengan hati yang tulus ikhlas dan murni, aku tak dapat lagi
hidup dalam keinginan dan cita-cita kalian; tinggal di suatu tempat
dalam waktu yang sangat lama, yang disebut rumah. Aku hanya ingin pergi
melihat dunia. Dunia yang mereka katakan begitu luas dan indah sehingga
akan sangat menyesal apabila melewatkannya.
Aku pernah beberapa kali berjumpa dengan orang-orang yang memiliki
pemikiran yang bahkan menurutku benar-benar aneh dan sangat tidak masuk
akal. Mereka, orang-orang itu, bahkan tak memiliki pekerjaan dan tempat
tinggal yang tetap. Mereka berbahagia bahkan ketika mereka tak berpihak
pada kehidupan modern dimana uang, kekayaan, jabatan, dan ketenaran
bagai candu yang merusak dan meracuni pemikiran setiap manusia yang
hidup di muka bumi ini, tak terkecuali kalian, dan kemapanan merupakan
pertanda keberhasilan seseorang. Hal itu baik sekali, tapi aku tak dapat
menerimanya dan aku tak bisa hidup seperti ini. Maafkan aku jika
jalanku sunyi dan sepi. Semoga engkau mengerti betapa aku ingin sekali
memberikan apa yang kau inginkan, walau aku tak dapat melakukannya. Aku
hanya ingin menikmati kehidupan, tidur berselimutkan bintang-bintang dan
beralaskan bumi dan meyakinkan diri bahwa dunia dan isinya ini adalah
milik kita. Itu merupakan bentuk kehidupan yang sangat luar biasa yang
pernah ku temui. Jikalau ayah dan ibu berkenan, sudilah kiranya menanti
aku kembali. Aku akan menulis dimana pun aku berada di tempat yang baru
agar kalian tidak mengkhawatirkan aku lagi. Bukankah kehidupan ini
sederhana?”
Malam tiba dengan sangat cepat. Deru angin di padang sunyi seakan
hendak mematahkan pepohonan kecil itu. Pasir beterbangan dan udara
dingin mulai mengigit tulang. Perapian itu menerbangkan sebentuk bara ke
udara. Untuk sesaat dan setelah itu, aku membungkus diri ke dalam
kantung tidur yang selalu ku bawa serta. Sejenak aku memikirkan segala
sesuatu yang pernah ku lakukan dan ku lewati. Ya Tuhan, betapa hidupku
tidak berarti. Semoga Engkau mengampuni aku yang telah menyia-nyiakan
kehidupan dan segala sesuatu yang diberikan padaku.
Bintang-bintang seakan bergerak kian kemari. Aku pun terlelap. Namun,
sayup kudengar suara ibuku. Semakin lama terdengar jelas menghujam ke
telingaku.
“Kembalilah nak.” Katanya. “Berapa lama lagi engkau berdiam diri seperti
ini? Sadarlah. Dengarkanlah perkataanku. Kembalilah. Apa yang kau cari
di sana, tak ada, hanya dunia yang sama sekali tidak nyata. Kembalilah.
Kami merindukanmu.”
Aku terjaga. Langit gelap dan bintang-bintang yang tampak bagai
titik-titik di angkasa yang jauh di atas sana. Tuhan, apa yang ku
lakukan?
Cerpen Karangan: Patrick Hariadi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment